Thursday, September 23, 2010

Prof DR HM. Rasjidi: Diplomat Pembuka Kemerdekaan

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia selalu memperingatinya sebagai hari kemerdekaan. Se­bab, pada tanggal itu, tahun 1945, Soekamo-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, pascaproklamasi, Indonesia mengalami berbagai tantangan dan ujian sebagai sebuah negara bare. Perang dan diplomasi adalah dua jalan yang dilakukan. Dalam hal penga­kuan kedaulatan, negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah adalah pelopornya.

Bicara tentang simpati negara-negara Arab, tentu tidak lepas dari peran pare pemuda Indonesia yang (pernah) ada di Timur Tengah. Mereka adalah orang-orang yang terns mengampanyekan kemerdekaan Indonesia sehingga perjuang­an bangsa ini untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dapat terdengar kabarnya di sana. Para pemuda yang berada di sana juga sudah berhubungan secara langsung dengan pemimpin­pemimpin negara yang tergabung dalam Liga Arab.

Salah seorang yang patut dicatat dalam misi diplomatik ini adalah M. Rasjidi, sosok yang pernah mengenyam pen­didikan lama di Universitas Darul Ulum dan Universitas Al-Azhar. Dengan jejaring yang dimilikinya selama mesa pendidikan, anak Muhammadiyah ini menjadi 'diplomat' yang memperjuangkan kedaulatan Indonesia agar diakui oleh negara di Timur Tengah. Hasilnya, diplomasi ini membuahkan dukungan negara-negara Arab yang luar biasa bagi Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Tidak hanya itu, M. Rasjidi juga menghubungkan delegasi dari Indonesia yang waktu itu dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir untuk bertemu dengan tokoh-tokoh di Timur Tengah. Sejak saat itu, gerakan bangsa Arab dan negara-negara Timur Tengah dalam mendukung kemerdekaan Indonesia semakin meluas: Syiria, Yordania, Libanon, Palestine, Irak, Yaman, Arab Saudi, dan lain-lainnya.

Rasjidi, yang Hama kecilnya Saridi, lahir di Kotagede Yogyakarta pada 20 Mei 1915. Raridi kecil menempa pen­didikannya di Sekolah Dasar Muhammadiyah Yogyakarta, dan melanjutkan di perguruan Al Irsyad al Islamiyah. Studinya dilanjutkan di Universitas Darul Ulum dan Al-Azhar. Setelah empat tahun belajar di situ, die mendapat gelar Licence da­lam studi Filsafat dan Agama. Setelah kembali ke tanah air beberapa tahun, Rasjidi melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Sorbonne. Paris, dan meraih gelar Doktor pada 1956.

Kepakarannya dalam ilmu agama, membuat Rasjidi dia­manati sebagai Menteri Agama saat Departemen ini didirikan pada 3 Januari 1946. Tidak hanya itu, sosok yang juga menjadi anggota. Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga adalah orang yang meletakkan pondasi dasar Depag sebagai departemen yang eksis hingga sekarang. "Dibutuhkan kebijakan negara untuk menghindarkan sebab-sebab yang akan menimbulkanketegangan dalam masyarakat menyangkut masalah agama," begitu kata Rasjidi pada awal pembentukan Depag.

Selain sebagai Menteri Agama, dan sebelumnya juga telah diangkat sebagai Menteri Negara, Rasjidi pemah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan lain-lain. Sebelumnya di bidang organisasi, is pernah terlibat dian­taranya dalam organisasi PH dan Masyumi. la juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UL Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill University.

Tokoh yang wafat pada 30 Januari 2001 ini meninggalkan banyak warisan yang berupa buku original maupun terjema­han. Di antaranya Islam Menentang Komunisme, Islam dan Indonesia di Zeman Modern, Islam dan Aliran Kebatinan, Islam dan Sosialisme, Mengapa Aku Tetap, Memeluk Agama Islam, Agama dan Etik, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Hendak Dibawa Ke mane Umat Ini?, dan ragam judul lainnya.

No comments:

Post a Comment