Tuesday, March 8, 2011

Keikhlasan Penambang Perahu

Alur anak Sungai Kalimas, di antara alur Sungai Ngagel yang menyusur masuk ke dalam Kota Surabaya, setidaknya bisa dimanfaatkan untuk menjual jasa angkutan sungai. Nah, salah satunya adalah jasa perahu tambang yang ada di kawasan Kampung Dinoyo Tam­bangan. Dengan menggunakan perahu tambangan, penumpang bisa menye­brang Sungai Kalimas untuk berlabuh di laelabuhan' Jalan Dinoyo dari Jalan Ngagel atau sebaliknya.

Awalnya, keberadaan perahu tam­bangan di stren Sungai Kalimas ini dipelopori oleh almarhum H Khotib Iskak sejak 1963 silam. Kala itu, Jem­batan BAT (British American Tobbaco) Company — perusahaan tembakau Ing­gris dan Amerika, yang menghubungan antara Jalan Dinoyo dan Jalan Ngagel - masih sempit dan cukup jauh. Peluang ini yang ditangkap oleh Khotib, pang­gilan akrabnya, lalu jadilah perahu tam­bangannya hingga sekarang ini.

Perahu tambangan ini tidak me­makai mesin. Untuk menyeberang, perahu ini memiliki lintasan 'rel', yang terikat kuat pada sebuah pohon yang berada di daratan Dinoyo dan pohon lainnya di Ngagel. Konstruksi `rel' ini merupakan rangkaian kuat dari kawat baja, tali tambang dan rol penggerek sehingga perahu dapat mudah digerak­kan dan aman. Karena itu, di perahu ini cukup butuh seorang `kapten' yang bertugas menjalankan perahu dengan cara menarik talinya dan seorang lagi jadi juru bayar.

Untuk saat ini, ongkos menye­berangnya Rp 1.000 per orang. Bila orang itu membawa sepeda, becak atau sepeda motor, dikenakan Rp 2.000. Daya angkut perahu ini maksimal lima hingga tujuh penumpang plus kend­araannya. Dan, perahu ini beroperasi 24 jam penuh.

Seiring perkembangan kota, seka­rang, nasib perahu tambangan berubah jadi sepi. "Iki kabeh gara-gara kakean sepeda motor," jelas Ayu Utami, 45 ta­hun, penarik perahu tambang di Sungai Ngagel, ketika ditanya alasan sepinya pengguna perahu ini.

Bagi Utami, kerja sebagai penarik perahu tambang sudah dijalaninya sejak lama. "Kalau tidak salah saya sudah sejak tahun 1980-an menjadi penarik perahu tambang. Ya sudah 20 tahun­lah," ucap Utami. Kendati begitu is mengaku sangat senang, sebab apa yang dilakukannya bisa membantu orang lain untuk lebih cepat sampai di rumah.

Yang menyenangkan lagi, Utami merasa bisa memperoleh rezeki dengan cam halal. "Mau kerja apa lagi, saya ini tidak punya keahlian untuk menjadi pegawai di pabrik atau menjadi orang kantoran," kata Utami polos, yang juga menjadi guru ngaji anak­anak di kampungnya.

Bekerja menarik perahu tambang, juga dilakoni oleh Sukarti, 32 tahun. Perempuan yang mengaku sudah 10 tahun sebagai penarik alat transpor­tasi tradisional di lintas penyeberangan antara Jembatan Merah Plaza dan Jalan Panggung itu memaparkan bahwa kerja apa pun tidak menjadi soal yang pent­ing halal dan kerja itu benar-benar tidak merugikan orang lain. "Saya sangat senang bekerja menjadi penarik perahu tambang ini, meski penghasilannya tidak terlalu banyak," ucap Sukarti.

Ia dengan ikhlas selalu menjalankan pekerjaannya dari pagi hingga men­jelang malam. Memang, para penarik perahu tambang ini sistem kerjanya bergantian, sebab kalau malam lebih banyak ditunggu oleh para penarik kaum pria. "Semuanya harus dilaku­kan dengan ikhlas, sehingga kerja ini bisa senang. Rezeki itu sudah ada yang mengatur," tutur Sukarti.

Keikhlasan Utami dan Sukarti dalam menjalani pekerjaan tentu juga dilaku­kan oleh Suwarni, 55 tahun. Perempuan ini kesehariannya sebagai penarik pera­hu tambang di Sungai Genting, Tambak Asri. "Saya sudah tua, mau kerja apa, wong saya ini tidak punya keahlian. Ya, bisanya hanya menjadi tukang tambang perahu," ujar Suwarni, ibu empat anak ini dengan lugasnya.

No comments:

Post a Comment