Judul buku
Jejak Pemikiran B.J. Habibie
Editor
Andi Makmur Makka
Penerbit
Mizan, Bandung
Tebal
350 halaman
Ketika B.J. Habibie yang kala itu berusia 35 tahun memutuskan pulang kampung dari Jerman Barat pada 1973, seluruh kolega dan pakar teknologi Eropa tak habis pikir atas keputusannya itu. Untuk alasan apa Habibie kembali ke Indonesia yang saat itu masih tertatih-tatih sebagai negara berkembang, dan meninggalkan karier cemerlangnya sebagai pakar teknologi penerbangan yang disegani di Barat? Kepulangannya ke tanah air mengakhiri perantauannya selama 20 tahun di Jerman.
Keheranan kolega atas keputusannya kembali ke Tanah Air memang cukup beralasan. Di mata warga Jerman, Habibie bak "mutiara" yang mendapatkan kedudukan sangat terhormat. Karenanya, Negara Jerman pun menjamin semua yang menjadi kebutuhannya, baik yang terkait dengan materi maupun intelektualnya.
Berbagai kedudukan penting dipegangnya. Selepas studi, Habibie bekerja di Messerschmitt-BolkowBlohm atau MBB Hamburg (1965- 1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang), kemudian Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Empat tahun berikutnya, dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihat Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978). Bahkan sejarah mencatat dia sebagai satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Namun Habibie tidak pernah lupa dengan asal-usulnya, dan nasionalismenya tetap 24 karat meski segala kebutuhannya dipenuhi negara Jerman. Terbukti, pada 1968 ia mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia bekerja di MBB atas rekomendasi Habibie. Maksudnya untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia bila suatu saat kembali ke Indonesia untuk membuat produk industri dirgantara sendiri.
Harapan untuk kembali ke tanah air pun menjadi kenyataan. Pada 1974 ia pulang ke tanah air setelah dibujuk Ibnu Sutowo (perintis PT Pertamina) yang mendapat mandat dari Presiden Soeharto untuk mengajak Habibie balik ke Indonesia. Dikatakan kepada Habibie, "Rudi, kamu harus malu sebagai orang Indonesia. Sewaktu bangsa Indonesia sedang sibuk membangun, kamu ada di sini. Ayo ikut." Dan Habibie pun langsung menyetujui untuk melepaskan jabatan, posisi dan prestisenya di Jerman yang sangat tinggi. Hal ini semata-mata demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini.
Ia pun diangkat menjadi penasihat Presiden di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Dan pada tahun inilah, terjadi perubahan mendasar pada kegiatan penelitian di Indonesia ketika dia dilantik menjadi Menristek / Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sejak itu, kegiatan penelitian lebih terfokus untuk menghasilkan teknologi yang diterapkan bagi keperluan pembangunan. Akronim Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) mulai populer yang beberapa tahun kemudian disebarluaskan sehingga tercapai kesepakatan nasional (1993) untuk menjadikan Iptek sebagai salah satu asas pembangunan (hal. 11-12).
Pilihannya menyambut permintaan Soeharto untuk merancang fondasi kemandirian Iptek Indonesia berbuah cetak biru' (blue print) peradaban teknologi yang disebut "Berawal di Akhir dan Berakhir di Awal". Industri-industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN) dan PT PAL, menjadi jejak kemandirian Iptek Indonesia yang dirintis Habibie dan menunjukkan kekuatan gagasannya.
Karena cita-cita dan perbuatannya yang berusaha membangun teknologi strategis bagi negara dan bangsanya, tidak berlebihan bila dinyatakan, Habibie adalah seorang visioner yang pemikiran dan tindakannya jauh di depan. Karena itu, sangat disayangkan bila gagasan-gagasan cemerlang Habibie tidak dimanfaatkan negara kita, tapi justru oleh negara lain.
Akhirnya, buku ini merupakan rekam jejak pemikiran Habibie selama menjadi Menristek, gagasan-gagasan tentang arah industri strategis dan pembangunan Iptek yang relevan dan tepat untuk sebuah negara seperti Indonesia. Sebuah peradaban teknologi untuk kemandirian bangsa yang diidamkannya, lebih ketimbang jabatan prestisius korporasi Internasional, ataupun reputasi sebagai pakar teknologi ternama.
No comments:
Post a Comment