Saturday, September 18, 2010

Perjalanan Mendebarkan ke Gaza

Penjara besar. Itulah kesan saya setiap kali mendengar kata Gaza, bagian dari wilayah Palestina yang diisolasi Israel. Bukan hanya sen­jata yang tidak bisa masuk. Behan makanan, obat-obatan, pakaian, perlengkapan sekolah, dan berbagai keperluan sipil sehari-hari juga sulit masuk ke wilayah ini. Bahkan, mereka yang sakitpun susah keluar untuk berobat.

Itulah sebabnya saat rapat di Komisi I membicarakan kunjungan kerja ke luar nege­ri, saya langsung mengusulkan agar Mesir. Ketika itu saya hanya berfikir sederhana, dengan mengunjungi parlemen dan kemente­rian luar negeri Mesir, secara halus kami akan mengimbau agar pintu masuk Palestina lewat Rafah, -yang berada di bawah kontrol Pemerintah Mesir dan satu-satunya jalur darat di luar Israel- diperlonggar, khususnya untuk maksud-maksud kemanusiaan. Alhamdulil­lah, usulan ini disetujui.

Saya ditugasi untuk berhubungan dengan Duta Besar Mesir dan Palestina di Jakarta. Saat pengurusan visa berlang­sung, tiba-tiba terjadi insiden kapal Mavi Marmara. Kemarahan dan kutukan dunia diarahkan pada Israel, sementara simpati masyarakat bertambah besar pada Palesti­na. Situasi ini kemudian mendorong kami untuk memanfaatkan momentum dengan mengembangkan rencana yang semula hanya mengunjungi Rafah, menjadi me­masuki Gaza dan Tepi Barat.

Tapi Duta Besar Mesir Mr Ahmed El Kewaisny di Jakarta hanya menyatakan, "Otoritas ada di pemerintah pusat di Kai­ro". Sementara Dubes Palestina Mr Fariz Mehdawi menyambut antusias rencana kami mengunjungi Ramallah. Bahkan ia berjanji akan mempertemukan kami de­ngan Presiden Mahmud Abbas bila beliau berada di tempat. Kami terus mendesak Dubes Mesir dan dalam waktu bersamaan menjalin hubungan dengan Dubes Indone­sia di Kairo untuk meminta bantuannya melakukan kontak-kontak dengan para petinggi di Kairo.

Bapak Fahir, Dubes RI di Mesir, sampai-sampai datang secara khusus ke Jakarta untuk melakukan koordinasi. Sam­pai pada saat kami meninggalkan Jakarta, walau ada tanda-tanda akan bisa masuk ke Gaza, tapi kepastiannya belum juga di­berikan. Bahkan tiga wartawan TV yang akan menyertai rombongan kami ditolak permohonan visanya.

Rombongan yang berjumlah 16 orang berangkat meninggalkan Jakarta dengan pesawat Emirat. Setelah melakukan pener­bangan sekitar tujuh jam kami tiba di Du­bai. Kami menunggu sekitar tiga jam, dan melanjutkan penerbangan ke Kairo dan menginap di Hotel Hilton Ramses, dekat sungai Nil. Rombongan kemudian menuju kota El Arish dengan bus yang ditempuh dalam waktu sekitar tujuh jam. El Arish adalah kota terdekat ke Rafah, dan ia adalah kota wisata yang menghadap Laut Medite­rania bersebelahan dengan pantai Gaza.

Pintu Gerbang Jalur Gaza di Rafah, Mesir
Pukul delapan rombongan sudah menyiapkan diri dan berkumpul di lobby Hotel. Ba­pak Fahir yang dibantu sejumlah staff KBRI terus melakukan kontak dengan para pejabat Mesir. Alhamdulillah, pukul 9.30, Pak Fahir dengan senyum gembira datang menemui kami dan memberi isyarat agar kami segera naik ke bus yang sudah menunggu di depan hotel. Setelah dihitung lengkap, seorang peserta berdiri, mengingatkan bahwa kesem­patan memasuki Gaza tidak datang pada semua orang. Bahkan, ada kawan di dalam bus yang sudah tiga kali berusaha masuk ke Gaza, gagal. Karena itu, kesempatan ini patut disyukuri.

Bersamaan dengan itu, memasuki Gaza berarti siap atas resiko terburuk, karena di sana Pemerintah Mesir tidak lagi punya kuasa melindungi anggota rombongan, se­mentara kemampuan aparat Palestina terba­tas. Di sisi lain, Israel bisa saja melakukan serangan setiap saat dan seluruh pojok Gaza dapat dijangkau dengan mudah oleh Israel. Karena itu, kami semua diajak berdoa semoga Allah dan diakhiri dengan kalimat 'kalaupun terjadi apa-apa insyaAllah kita dalam keadaan syahid'. Suasana hening dan tegang menyelimuti wajah anggota rombongan.

Imigrasi Mesir
Pak Fahir menyampaikan selamat jalan ketika rombongan meninggalkan imigrasi Mesir. Beliau tidak menyertai rombongan dengan alasan bahwa Gaza di luar wilayah penugasannya. Bus lama berhenti di ger­bang, ternyata petugas imigrasi Mesir melalui komputer menemukan seorang mahasiswa Indonesia di dalam rombongan. Mereka menolak ijin yang bersangkutan ikut masuk. Petugas KBRI yang menyertai kami mencoba bernegosiasi, tetapi tetap di­tolak. Akhimya yang bersangkutan diminta turun. Kami melalui tanah kosong sekitar seratus meter, lalu memasuki kantor imi­grasi Palestine yang sangat sederhana.

Kami disambut Wakil Ketua Parle­men Palestina Mr Ahmed Bahr dan se­jumlah anggota parlemen. Ahmed Bahr mengutarakan rasa terimakasihnya atas kedatangan Parlemen Indonesia yang tentu memberi makna besar bagi perjuangan Pa­lestine. Apalagi sejak peristiwa penembak­an kapal Mavi Marmara, baru Sekjen Liga Arab Amir Musa dan beberapa perwakilan parlemen Arab yang memasuki wilayah ini. Sementara, Marzuki Alie Ketua DPR RI menyampaikan bahwa Indonesia konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya.

Rombongan lalu naik bus menuju gedung Parlemen. Kami melewati daerah­-daerah kumuh, gedung-gedung rusak dan jalan berlubang serta berdebu. Setelah menempuh perjalanan 30-an menit, rombong­an tiba di Gaza City. Kami ditunjukkan kantor pemerintahan Palestina berlantai sepuluh luluh lantak terkena serangan bom Israel tahun lalu. Kami diterima di Gedung Parlemen Palestina yang sederhana dan separuh luluh lantak terkena serangan Israel. Karena ruang pertemuan juga rusak, kami diterima di atas reruntuhannya yang ditutupi tenda.

Rombongan lalu dibawa ke kantor Perdana Menteri Ismail Haniyah serta para menteri kabinetnya. Penjagaan sangat ketat, maklum Ismail Haniyah adalah orang nomor satu di Gaza. Setelah kernatian Syech Yasin pendiri HAMMAS dan Abdul Aziz Arrantisi penggantinya, - keduanya dibunuh Israel dengan cara memberon­dongnya dengan senjata -, HAMMAS menyembunyikan siapa sebetulnya ketua dan para petinggi HAMMAS. Karena itu, Ismail Haniyah merupakan salah satu figur HAMMAS yang muncul ke permukaan.

Pembawaannya tenang berwibawa, saat memberi sambutan kata-katanya jelas dan kalimat yang keluar dari bibirnya penuh makna. Saat berbicara bibirnya seolah-olah terus mengumbar senyum, berbeda dengan wajah seram dan penuh siaga para pengawal yang berada di sekitarnya. Ismail Haniyah lalu memberikan kesempatan seluruh rombongan bersalaman satu per­satu sekaligus mengambil foto. Pada saat yang bersamaan beliau juga menghadiahi selendang Palestina yang sudah dibubuhi tanda tangan dan namanya.

Acara terakhir, rombongan menuju Bait Lahiya di Jalur Gaza Utara. Kami sampai di sebidang tanah yang dihibahkan oleh Pemerintah Palestina untuk dibangun Al Rayan Indonesian Hospital. Kami disambut dengan drumband anak-anak Palestina. Warga masyarakat tua-muda berjajar rapi menyalami rombongan satu-persatu. menyambut antusias kedatangan kami. Setelah sambutan kedua belah pihak, Pak Marzuki Alie dan rombongan diantar un­tuk menandatangani sebuah prasasti tanda dimulainya pembangunan Rumah Sakit Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran U$ 2 juta, ditam­bah dana yang dikumpulkan masyarakat melalui berbagai LSM.

Rombongan lalu kembali ke Mesir. Dalam perjalanan kami diberitahu bahwa kemarin terjadi pengeboman di Gaza. Infor­masi ini sengaja disembunyikan agar tidak merisaukan rombongan. Keesokan harinya kami menuju Amman, Ibu Kota Yordania. Setiba di Amman kami juga mendapat berita bahwa setelah kami meninggalkan Gaza, kembali Israel melakukan pemboman. Menurut agenda hari itu, mestinya kami langsung menuju Ramallah, tetapi ijin masuk belum juga dikeluarkan Israel. Untuk turis yang menggunakan paspor hijau, biasanya cukup diatur oleh travel dengan cara menempel kertas di paspor yang khusus dikeluarkan imigrasi Israel. Saat meninggalkan Tepi Barat, kertas ini dicopot sehingga paspor Indonesia yang mencantumkan larangan berkunjung ke Israel sama sekali tidak kena stempel Imigrasi Israel.

Tapi rombongan kami yang menggu­nakan paspor biru atau paspor diplomatik, mereka memaksa akan menstempelnya dan tidak mau menggunakan kertas yang ditempel sebagaimana biasanya. Setelah berdiskusi, kami menyimpulkan bahwa Pemerintah Israel sengaja akan menggu­nakan kedatangan kami sebagai alat politik seolah-olah Parlemen Indonesia telah mengakui Israel dengan alat bukti stempel An. Karena itu kami membatalkan rencana mengunjungi Ramallah dan Yerusalem.

Karena gagal memasuki Tepi Barat, kami menemui anggota Parlemen Pales­tina di kantor perwakilannya di Amman. Pertemuan berjalan lancar. Dialog dua arah berlangsung antusias sehingga menam­bah wawasan para peserta akan peliknya masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah internal persaingan HAMMAS dan FATAH. Karena itu mereka diimbau agar bersatu kembali menghadapi Israel.

Dari Amman kami menuju Damaskus, ibukota Suriah, mengunjungi kantor per­wakilan HAMMAS di luar negeri. Lewat kantor ini juga kebijakan luar negeri HAM­MAS dikendalikan. Berada di daerah elite di antara gedung-gedung perkantoran dan kedutaan, kantor ini tidak beda jauh dengan bangunan yang berada di sekitarnya. Yang membedakan adalah penjagaan yang sa­ngat ketat. Kami diterima Khalid Mishaal. Menurut beberapa Sumber, posisi dia di HAMMAS lebih tinggi dari Haniyah.
Seperti halnya Haniyah, Mishaal juga suka menebar senyum, kata-katanya tegas tapi bersahabat. Pesannya yang terus mengiang adalah bahwa bangsa Indonesia telah mengambil sikap yang benar dengan mendukung Palestina. cepat atau lambat Palestina akan menang karena ia berada pada jalan yang benar.

Muhammad Najib, Anggota DPR RI

No comments:

Post a Comment