Friday, September 17, 2010

Mumet di Jalur Setrum

Pemerintah menaikkan tarif listrik 1.300 VA ke atas sebesar 6-18 persen sejak 1 Juli 2010. Alasan­nya, demi menutup defisit APBN yang sudah parah. Sampai kapan negeri ini mumet soal setrum yang membuat rakyatnya selalu menjadi korban?

Di ruang Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rembukan 'setrum' men­jadi pembicaraan hangat dalam rapat kerja Komisi Energi DPR dengan pemerintah. Meski berlarut-larut, bahkan terkesan alot, akhirnya jalan te­ngah berhasil ditunai. Dari dua opsi yang disiapkan pemerintah, akhirnya kedua be­lah pihak sepakat tarif dasar listrik (TDL) dinaikkan. Hanya pelanggan listrik rumah tangga dengan kapasitas 450-900 volt am­pere (VA) yang tidak ikut terkerek.

Dalam kacamata pemerintah, lang­kah tak populer ini memang harus di­tempuh demi menyelamatkan anggaran negara. "Lagi pula, lampu hijau sudah dinyalakan oleh anggota Dewan ketika mengesahkan Undang-Undang Ang­garan dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2010," tegas Menteri Koordi­nator Perekonomian, Hatta Rajasa.

Sebagai konsekuensinya. sejumlah pelanggan rumah tangga, pelanggan bisnis, dan industri mulai bulan depan bakal dibebani kenaikan tarif 6-18 persen. Sebagaimana yang disimulasikan oleh pe­merintah, kenaikan tarif ini akan membuat pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA harus mengeluarkan ongkos tambahan rata-rata Rp 24 ribu per bulan. Sedangkan untuk pelanggan 2.200 VA, tambahannya sekitar Rp 43 ribu per bulan.

Meski diputuskan bersama antara pemerintah dan DPR namun kesepakat­an kenaikan TDL ini bukan tidak menuai kritik. Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDIP, Daryatmo Mardiyanto misalnya, dia menyatakan seharusnya pemerintah bisa menutupi kekurangan subsidi dari peningkatan pemakaian gas dan batubara pembangkit, dan efisiensi PT PLN (Persero). "Kenapa tidak itu dulu yang dilakukan, baru berbicara kenaikan TDL," ujarnya.

Dalam kacamatanya, sebelum kenaikan TDL diberlakukan, yang harus didahulukan adalah audit PLN, meningkatkan rasio elektrifikasi, men­gurangi biaya energi primer pembangkit, menurunkan susut daya, dan meningkat­kan penghematan terutama pemakaian tarif listrik. Apalagi pelayanan profe­sional PT PLN sebagai satu-satunya penyedia tenaga listrik belum terlihat: 'byar pet' atau pemadaman masih terjadi di mana-mana. Menurutnya, TDL tak layak naik selama pemerintah tak mem­perbaiki efisiensi penggunaan bahan bakar di pembangkit listrik PT PLN.

Kendati yang mengalami kenaikan TDL adalah kalangan menengah ke atas., namun dampaknya baik langsung ataupun tidak langsung pasti dirasakan pula oleh seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan pemerintah menaikkan TDL sebulan sebe­lum Ramadhan seolah juga menyediakan jalan mulus untuk membuka kenaikan harga hampir semua kebutuhan masyarakat. Meski sebenarnya, kenaikan harga telah menjadi tren tahunan yang terjadi setiap menjelang puasa Ramadhan hingga detik-detik Lebaran.

Tidak heran jika banyak pihak yang mengingatkan agar pemerintah juga me­waspadai dampak tidak langsung dari kenaikan TDL tersebut. Sebab, tidak sedikit pengusaha yang bermental nakal yang memanfaatkan kenaikan TDL untuk dapat menaikkan harga barang, meskipun susah membedakan alasan kenaikan harga apakah akibat kebijakan pemerintah menaikkan TDL atau karena tingginya permintaan pasar terhadap komoditas tertentu.

"Kenaikan TDL bisa digunakan sebagai alasan untuk menaikan harga barang," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, yang mengaku melihat para pengusaha nakal menggunakan momen kenaikan TDL untuk menaikkan harga barang. Dia menambahkan, secara logika, jika TDL dinaikkan hingga 10 persen saja, maka kenaikan harga barang hanya berkisar 0,4 persen. "Tapi ada juga pengusaha yang nakal dan menaikkan harga barang pukul rata hingga 10 persen," jelasnya.

Huh, kini apapun alasannya rakyat tetap saja mumet dengan adanya drama kenaikan TDL ini.

No comments:

Post a Comment