Sunday, February 6, 2011

Catatan Seorang Dai

Judul buku :
Perisai Pribadi Muslim, Sebuah Catatan dari Ladang Dakwah
Penulis : 
Moh Nurhasan
Penerbit : 
Resist Literacy, Malang
Cetakan : 
I, Oktober 2010
Tebal : 
xviii + 146 halaman


Seorang aktivis dakwah tidak cukup bermodalkan semangat, tetapi juga membutuhkan daya intelek­tual. Tanga intelektual, semangat yang berapi-api bukan tidak mungkin hanya berujung pada kelelahan dan keputusasaan. Mungkin berangkat dari kesadaran ini, Moh. Nurhasan merangkai pengalaman dan materi dakwahnya menjadi Sebuah tulisan yang menarik. Sebuah langkah yang bisa dikata cukup langka, karena tidak banyak aktivis dakwah yang mendokumentasikan
bahan ceramah dalam, bentuk tulisan.

Siapa sebenarnya Moh. Nurhasan, sehingga sampai mampu menuliskan pengala­man Berta materi dakwahnya. Nurhasan merupakan priba­di yang memiliki kekayaan pengalaman dalam bidang dakwah. yang sekarang dia­manahi sebagai Ketua Pimpin­an Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Probolinggo. Ke­hadiran buku ini dapat dikata sebagai *penyadarbahwaj*uru dakwah tidak cukup hanya pandai berpidato, tetapi juga dalam bentuk tulisan sebagai warisan peradaban. Lebih dari itu. tulisan seorang juru dakwah Muhammadiyah juga harus mampu menunjukkan kearifan intelelctualitasnva.

Memang tidaklah mu­dah untuk mengajak setiap manusia meyakini bahwa ajaran Islam merupakan sesuatu yang indah dan me­nenteramkan. Karenanya, hanya juru dakwah yang memahami Islam secara utuh (komprehensif) yang mampu menyuguhkan Is­lam sebagai ajaran vang rahmatan lil alamin. Yaitu juru dakwah yang termo­tivasi oleh tanggungjawab untuk mampu menerjemahkan ajaran Islam dengan bahasa cinta, bahasa yang mampu menggaet simpati sasaran dakwah.

Bukanlah sebagai bagian dari etika dakwah yang benar bila dakwah dilakukan dengan cara yang menakutkan atau tidak santun. Cara yang tidak santun dan cenderung menakutkan tidak lain merupakan antitesa dari wajah Islam itu sendiri. Ironisnya, fakta di lapangan memang tidak seindah harapan.

Banyak pengajian, ceramah, tausiah, forum keagamaan, dan semisalnya, tidak mampu meneteskan embun kesejukan dan keramahan bagi jamaahnya, sehingga jamaah yang semula mengharap siraman ruhani justru mundur teratur. Muatan dakwahnya tidak lebih dari ekspresi provokatif untuk mene­barkan kebencian, kemarahan dan emosional.

Berkaca pada konteks inilah, buku Nurhasan ini sangat layak menjadi bahan perenungan. Beberapa contoh nyata tentang kegiatan dakwahnya layak diadopsi oleh para juru dakwah lainnya. Bahasa dak­wah yang digunakan cende­rung lugas dan sederhana sehingga mudah dipahami, apalagi disertai beberapa bumbu humornya. Bahkan dalam membahas wacana agama yang seolah high class pun, semacam pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan Ahmadiyah, semuanya disa­jikan dengan bahasa renyah, gampang, enak dibaca dan mudah dipahami.

Bentuk lain kearifan Nurhasan ditunjukkan de­ngan perkenannya terhadap Pradana Boy ZTF (seorang aktivis dan kader muda Mu­hammadiyah) untuk memberi kata pengantar buku. Padahal Pradana adalah alumnus Australian National Univer­sity (ANU) yang terkenal sangat mendukung gagasan pluralisme, sementara Moh. Nurhasan berada pada bandul sebaliknya. Apakah buku ini menandai penyegaran kembali tradisi dialog dalam Muhammadiyah yang selama ini lesu?

Yang jelas, kehadiran buku ini menjadi inspirasi kita bersama. Di dalamnya ada kritik, refleksi, dan pet­uah-petuah bijak yang akan menyelamatkan kita dari kegilaan zaman modern. Memang, tidak ada metode khusus yang digunakan sebagai patokan dalam berdakwah di zaman sekarang. Semua bentuk metode bisa diterapkan. Yang harus diingat, hakikat dakwah adalah untuk mengajak umat mengamalkan ajaran Islam. Sementara Islam itu sendiri adalah agama kedamaian, ketenangan, dan kesejukan.

No comments:

Post a Comment