Oleh: Imam Robandi
Saya diundang untuk menjadi pembicara kunci di The 4th International Symposium on EMC and Transients in Infrastructure di bulan Oktober 2010, di Kyoto. Ini sebuah kesempatan langka yang tidak boleh saya lewatkan. Aneh, bidang saya bukan ilmu transients, tetapi saya dipaksa untuk menceramahi masalah tegangan tinggi di hadapan para ilmuwan Jepang. Kurang apa mereka soal ilmu dunia, pinter iya, kerja keras juga.
Akan rugi besar kalau ke Prefektur Kyoto yang beribukota di Kota Kyoto hanya sekedar symposium, karena ia dapat dilakukan di mana-mana. Sementara membongkar rahasia The Ethos of Kyoto tidak dapat dilakukan di tempat lain. Kyoto merupakan kota yang sangat legendaris, ibu kota Jepang masa lalu di era Heian Jidai setelah pindah dan Nara (Yamato), dan tempat yang paling indah di Nippon. Mahasiswa Indonesia sering mengatakan Kyoto sebagai Yogyakarta of Japan.
Kyoto University (Kyodai) yang telah banyak melahirkan peraih nobel kuil Kyomizudera, dan Ryoanji memenuhi sedereratan nama travel spot yang sangat banyak dikunjungi gaikoku jin (orang asing). Bangunan-bangunan baru di sekitar pertokoan Daimaru dengan konsep potsmodern, betul-betul menjadikan saya telah melakukan review of mind, and recharging.
Bulan Oktober adalah bulan yang paling indah jika kita ingin berwisata ke gunung. Arashiyama adalah gunung di sebelah barat Kyoto yang sangat populer, karena keindahan daun pepohonan di musim gugurnyi. Warna hijamenjadi kuning, merah, dan warna-warni yang lain, dan terakhir pohon harus menjatuhkan daunnya untuk dapat bertahan di musim dingin. Di Arashiyama para pelancong, termasuk saya, sangat bergembira untuk mensyukuri ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu dapat melihat keindahan 350 gunung yang mengitari Kyoto yang secara serentak memamerkan panoramiknya, sungguh indah.
Sungai Hozugawa yang berkelok¬kelok dan sangat bening, dipenuhi ikan Koi warna-warni yang ikut merasakan kegembiraan dalam menyambut para wisatawan. Udara 10 derajat celcius, dengan langit biru yang sangat cerah menambah kegagahan Gunung Arashiyama, yang kokoh perkasa menghadap ke timur. Di sekitar sungai itu, ada banyak sekali kedai-kedai kecil de¬ngan kesibukkannya masing-masing. Seharian jalan-jalan di Arashiyama, berdiri megah di tengah kota dengan bangunan tuanya, yang juga merupakan salah satu Imperial College.
Tol tengah kota yang cukup indah, stasiun Kyoto (Koto Eki) yang sangat modern dengan Skyway-nya, Kyoto Tower yang menjulang, pertokoan di Nishiki Ichiba belakang Shijodori yang sangat merakyat, dan kompleks Gion yang spektakuler dengan festival matsurinya. Istana berlapis emas Kinkakuji,saya merasa beruntung karena ditemani Professor Yagi dan isteri, yang pernah mampir ke SDM 4 Pucang Surabaya dua tahun lalu.
Pak Yagi adalah seorang profesor senior yang khusus datang sangat jauh dari Prefektur Tottori ke Kyoto hanya ingin mengajak jalan-jalan saya dalam menikmati keindahan alam Kyoto. Mungkin beliau menyaur hutang, karena dulu pernah saya ajak makan di kedai padang Sederhana bersama Principal Sholihin Fanani. Tidak lupa, Bu Yagi juga sangat bangga memamerkan baju batiknya ke saya, yang hadiah dari guru Pucang, Edi Susanto.
Mumpung di Arashiyama, saya sempatkan mampir di Museum Hibariza, yaitu museum untuk mengenang jasa penyanyi besar Jepang, Misora Hibari. Sebuah museum yang dibangun dengan memadukan seni dan teknologi modern. Mengakhiri perjalanan di Arashiyama dengan me¬nyantap makanan kesukaan saya `aburage udon', yaitu makanan dari mie dengan kuah hangat dashi dari binatang laut, dicampur jamur dan sweat tofu. Sangat hoka-hoka (kebul-kebul), sambil melihat alam yang panoramik, saya meninggal¬kan Arashiyama yang permai dan penuh kenangan, sambil terdengar sayup-sayup lagu kanashiki kuchibue.
Professor Ametani Akihiro adalah orang yang mengundang saya ke Kyoto. Dia guru besar emeritus di Doshisha University di Kota Kyotanabe yang berjarak 40 km dari pusat kota Kyoto. Sebuah universitas yang cukup branded di Jepang, berdiri tahun 1875, atau lebih tua dari Imperial College (Kyodai, Todai, Kyudai, dan lain-lain). Kampusnya sangat indah, dengan bangunan gedung perpaduan keindahan gaya Bostonian yang Barat dengan kesempumaan gaya Jepang yang Timur.
Sungguh sangat sulit untuk diceritakan karena mengandung makna indah dan ethos. Perpaduan penataan warna batu-bata merah, kesempurnaan dalam finishing dan landscape menjadi sebuah nilai seni yang sangat tinggi.
Kyotanabe adalah sebuah kota kecil, nan sunyi, di sebelah selatan Kyoto menuju arah ke Prefetur Nara. Di kota ini ada sebuah stasiun kereta api kecil, yang di sekitarnya ada kedai kopi sangat minimalis yang menjadi langganan saya berpose di Museum Hibariza untuk ngopi pagi, sambil menunggu bus kota menuju kampus. Tidak mudah untuk menjangkau kampus ini bagi para pemula yang barn saja masuk Jepang, tertutama yang tinggal di tengah kota karena hams transfer di Stasiun Kyoto yang sangat krodit dengan ribuan ma¬nusia yang super sibuk.
Berangkat pagi dari hotel, dengan sarapan pagi paket hotel, yaitu nasi putih, daun kobis dan sawi yang dirajang lembut dan dicampur dengan mayones. Betul-betul sarapan pagi hari yang pa¬ling minimalis, karena semuanya juga berwarna putih. Bebas kolesterol, bebas darah tinggi, dan bebas asam urat, tetapi agak lemes sedikit.
Keluar hotel, setiap hari langsung turun ke bawah tanah untuk naik chika¬tetsu (Subway) di stasiun Shijo Kara¬suma menuju Stasiun, jadi ingat Stasiun Shinjuku di Tokyo yang hingar-bingar. Pindah kereta futsudensha di Stasiun Kyoto menuju kota kampung Kyotanabe yang sangat sepi.
Penyambutan kedatangan saya di Kyoto sungguh tidak main-main. Prof Ametani datang sangat pagi di Toyoko Inn Karasuma untuk mentraining saya secara singkat, How to get arrival to the Kyotanabe Campus, mulai dari mengenali subway dari jurusan Ryugakusei Kaikan, membaca kanji, cara membeli tiket di vending machine, sampai ditunjukkan warung-wanrung yang murah. I assume you as a beginner in Japan, kata Prof Ametani.
Sampai di kampus, berganti Prof Nagaoka Naoto (yang lebih muda) mengenalkan lingkungan laboratorium di Doshisha. Besok harinya Director of International Center Doshisa, Prof Wada Motoi yang was-wes-wos bahasa Inggrisnya mengajak bertemu di Shokudo untuk makan siang. Di situ ketemu dengan Ibu Prof Matsukawa Mami, yang penuh semangat untuk membicarakan kerjasama U to U dengan lebih serius dan nyata.
Sepuluh hari beraktivitas di Kyoto, Kyotanabe, dan kota-kota di sekelilingnya menjadi tidak terasa. Para profesor, mahasiswa, dan pejabat Doshisha yang setiap hari menemani saya untuk tukar-menukar pengalaman sungguh orang¬orang yang mempunyai ethos petarung. Mereka berkarya dengan gigih untuk mengawal kelanggengan produk-produk bangsanya dalam mewamai dunia.
Mereka datang pukul 8 pagi di kampus, dan mereka pulang pukul 9 malam. Mereka mengawali untuk menyonsong terbit matahari pagi dengan ethos, mereka mengakhiri siang yang indah dengan karya yang gemilang. Kyoto yang telah menjadi kenangan.
No comments:
Post a Comment