Oleh: Nadjib Hamid
Sampai dengan 23 Januari, sebanyak 15 PDM di Jawa Timur telah menyelesaikan Musyawarah Daerah (Musyda). Yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Mojokerto, Banyuwangi, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Bangkalan, Bon¬dowoso, Trenggalek, Tulungagung, Sidoarjo, dan Kota Batu. Dari lima belas daerah tersebut, sepuluh PDM berganti ketua barn, yaitu Kabupaten Kediri, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kabu¬paten Probolinggo, Lamongan, Tuban, Trenggalek, Tulungagung, Sidoarjo, dan Kota Batu. Sementara lima daerah lainnya mengukuhkan kembali ketua yang lama.
Sejauh yang saya bisa amati dan rasakan dari proses penyelenggaraan acara lima tahunan itu, tidak ada perdebatan berbelit tentang rumusan program, apalagi sampai voting. Berbeda dengan persoalan pemilihan pimpinan, terutama untuk posisi ketua, walau di sebagian besar daerah proses pemilihan¬nya terasa masih adem-ayem seperti tradisi aslinya, yang pantang bagi para kader meminta jabatan atau mengampanyekan diri sendiri untuk dipilih, seh¬ingga hasilnya mulus tanpa konflik. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa daerah, nuansa politis itu sangat terasa, sampai-sampai dalam penentuan ketuanya ada yang dilakukan melalui voting.
Juga ada, diantara para kader yang dalam berebut jabatan, menggunakan cara-cara kurang sehat. Misalnya dengan melakukan black campaign atau kampanye negatif, melalui SMS, dan brosur-brosur, serta mobilisasi-mobilisasi kekuatan, layaknya partai politik.
Bahkan, konon ada pula yang memberikan suntikan ' gizi' untuk para calon pemilih. Untuk yang disebut terakhir itu, semoga hanya isapan jempol belaka. Pasalnya, jika benar bahwa virus-virus yang lazimnya menjangkiti partai politik sudah menjalar pula ke ormas keagamaan bersimbol matahari ini, berarti sebuah alarm pertanda bahaya sudah berbunyi.
Memang, dalam batas-batas tertentu persaingan itu sah-sah saja sebagai sebuah dinamika, asalkan semangatnya untuk kepentingan memajukan Persyarikatan. Tapi jika yang menonjol adalah semangat meraih interest-interest lain, tentu saja sangat berbahaya, dan harus dicegah.
Perlu disadari bahwa dalam memasuki abad kedua, gerakan dakwah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini telah menjadi sebuah gerakan raksasa, dengan dukungan organisasi, SDM dan seluruh amal usahanya yang luar biasa. Namun seiring dengan itu, tantangan yang dihadapi juga tidak kalah beratnya, termasuk di Jawa Timur. Karenanya, gerakan tajdid ini tidak bisa tidak, harus dikelola secara sungguh-sungguh oleh sebuah kepemimpinan yang solid dan visioner, dengan manajemen yang sinergis. Soliditas kepemimpinan itu menjadi prasyarat mutlak bagi semua pimpinan daerah, agar ormas ini tidak kedodoran menghadapi perkembangan eksternal yang kian dahsyat.
Kita semua tahu bahwa ciri khas kepemimpinan Muhammadiyah adalah kolektif kolegial. Setiap pengambilan kebijakan dilakukan melalui mekanis¬me musyawarah kekeluargaan. Prinsip dasar dari sistem ini menempatkan semua anggota pimpinan pada level tersebut dalam posisi yang sama, tidak ada yang punya otoritas istimewa. Sebuah usulan kebijakan misalnya, dari manapun datangnya bisa diterima, asalkan tidak menyalahi kaidah, dan secara rasional obyektif diyakini akan berdampak positif bagi kemajuan Persyarikatan.
Sebaliknya, jika menyalahi aturan main, apalagi menimbulkan madharat, sekalipun diusung oleh ketua, hams ditolak. Sebab, jika dipaksakan, dapat dipastikan akan melahirkan konflik berkepanjangan, dan pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan program serta mengganggu dinamika amal usaha yang menjadi binaan.
Persoalannya, bagaimana dengan oknum-oknum yang sengaja tidak mengindahkan aturan main Persyarikatan? Jawaban Prof Dr Thohir Luth atas pertanyaan ini sangat tegas, "Kalau bisa, dibina. Tapi kalau tidak bisa, yang dibinasakan." Hal ini sudah pernah dibuktikan dalam upaya penertiban aset pendidikan Muhammadiyah di Madiun yang sempat dikuasai oleh kelompok yang berafiliasi dengan parpol tententu. Juga terhadap beberapa oknum yang yang mengaku-ngaku sebagai pemilik Rumah Sakit Muhammadiyah Mojokerto.
Pokoknya, tekad yang dicanangkan oleh ketua PWM Jatim itu, "Persyarikatan harus berdaulat." Ia tidak ingin ada orang-orang yang mengaku kader, tapi menjadi benalu dan merusak tatanan. Nah?
No comments:
Post a Comment