Wednesday, February 2, 2011

Membangun Pagar Menebar Benih Dakwah

Menggusur Basis Muslim Kota

Tercerabutnya pusat-pusat dakwah umat Islam dari pu­sat kota tak lepas dari kangkangan kapitalisme dengan nyawa kerakusan 'pasar'. Celakanya, bidang ini banyak dipegang non-muslim, sementara umat Islam nyaris tak sadarkan diri bahwa kearifan dakwahnya tercerabut
secara sporadis. Masjid, pusat-pusat pendidikan Islam seolah di garuk paksa atas nama gemerlap kota. Tokoh­tokoh yang menjaga kearifan dakwah pun juga tak lagi menyiapkan kader pengganti.

Pada awal 1990-an, terdapat kisah yang cukup menyesakkan dada umat Islam. Saat itu, seorang pengembang mempresentasikan di hadapan Guber­nur Jatim, Sularso, tentang rencana pembangunan sebuah perumahan elit di kawasan Surabaya Timur. Setelah melihat dengan teliti masterplan yang diajukan pengembang itu, Gubemur pun langsung bertanya, "di mana letak Masjid­nya?".

Sang pengembang menunjukkan rencana lokasi Masjid yang berada di ujung perumahan. "Kenapa ticlak diletakkan di tengah-tengah perumahan?" tanya Gubemur. "Nanti orang China banyak yang ticlak mau membell,"jawab sang pengem­bang tangkas. Entah berapa ribu tanah dan semangat umat Islam yang terlibas di dalamnya. Perumahan itu tentu milik pribadi, seseorang yang menjadi raja di era kapitalis ini.

Dua puluh tahun berselang, tepatnya pertengahan Desem­ber 2010, saat MATAN berkunjung, perumahan itu kim sudah terbagi dua: tahap I clan 11. Perumahan ini termasuk dua besar dan lugs di Jatim. Mencari letak Masjid tentu bukanlah peker­jaan yang mudah, karena letaknya bukan di bagian depan. Masjid Arroyan ini kellhatan belum lama dibangun. karena lokasinya di perumahan tahap II. Sementara di perumahan tahap I, ticlak ada Masjid. Yang ada adalah dua gereja megah yang sedang berhias menyambut Hari Natal, Berta dua vihara juga tengah semarak menyambut tahun bare Masehi.

Keaclaan Masj* id Arroyan cukup bersih namun nyaris tanpa `tanda-tanda kehidupan'. Bangunan serba putih di sudut pojok itu tanpa kubah. Hanya ada ukiran kaligrafi Asmaul Husna di tembok dalam. Boleh clikata, Masjid itu berinterior minimalis, tak beds dengan jamaahnya yang juga 'minimalis'. "Selain Muslim di perumahan ini minoritas, posisi bangunan Masjid di paling pojok adalah penyebab sedikitnya jamaah," terang Zaini, anggota takmir Arroyan.

"Namun, kami tetap intens mengisi kegiatan di Masjid ini, berapa pun yang ikut," terang Zaini. Setiap Senin, Rabu, dan 'Jumat setelah maghrib diaclakan kegiatan belajar al-Quran untuk anak-anak. Dan setiap Ahad pagi, ada pengajian ba'da subuh. Ustadznva dari luar perumahan.

Repotnya mencari Masj id dalam perumahan elit perkotaan juga sangat terasa saat MATAN mengunjungi 'S i ngapura'-nya Surabaya. Memasuki jalan utama perumahan ini, jalur lebar dua arch dihiasi pohon rindang di kanan-kiri. Sangat kontras dengan kondisi jalanan Surabaya lainnya yang padat, macet, dan sesak. Seakan menyuguhkan kota mandiri modern seluas 2.000 hektar, perumahan yang mengusung spirit The Singapore of Surabaya ini dilengkapi arena golf international 27 holes, plus restoran dan cafe. Juga ada fasilitas sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi berstandar internasional.

Setelah berjalan melewati bentang area Gwalk. sebuah area pembelanjaan dengan konsep street outdoor dining yang dilengkapi dengan ratusan outlet makan­an dan minuman. akhimya ketemulah bangunan Masjid Baiturrozaq. Lokasinya lebih dekat dengan penduduk kampung daripada penghuni perumahan. Meskipun ketua pengurus tetap dipegang oleh warga perumahan, namun jamaahnya mayoritas warga kampung. "Jamaah yang banyak dari warga kam­pung dan para pekerja proyek di perumahan ini," kata tukang parkir Masjid.

Seperti di ba­nyak Masjid yang mulai sepi ja­maahnya, Masjid . Baiturrozaq tetap memiliki berba­gal kegiatan keagamaan. "Meski tidak se­banyak jumlah jamaah sholat Ju­mat, tetapi tetap ada saja jamaah yang mengikuti kegiatan di Mas­jid ini," terang Arif, kepala kan­tor Masjid Baitur­rozaq.

Kondisi Masjid Baiturrozaq jauh dari kesan mewah. Sangat kontras bila dibanding dengan kondisi hunian berke­las internasional yang memiliki wisata air yang kabarnya merupakan waterpark terbesar di Indonesia. Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan tentang ke­beradaan fasilitas sosial (fasos), seperti tempat ibadah, dalam sebuah perumahan yang baru dibangun. Selama ini ada yang menganggap bahwa bentuk fasilitas so­sial didirikan berdasarkan permintaan masyarakat penghuni perumahan. Tetapi ada juga yang menganggap terserah pada pengembangnya dengan asumsi mengejar ar target marketing. "Bentuk fa­sos didirikan berdasarkan pada permin­taan masyarakat sekitar yang menempati perumahan," kata Ir HM Yasin Marsely, bos pengembang Sooka.

Pengusaha ini lantas menjelaskan kdwajiban pengembang dalam pem­bangunan perumahan. Yakni harus ada fasilitas umum (fasum) dan fasilitas so­sial (fasos). Fasilitas umum diantaranya jalan, taman, got, dan lapangan (bukan sepakbola). Sedangkan fasos, setidak­nya tempat ibadah yang disesuaikan dengan kebutuhan warga penghuni, dan harus berbentuk hukum.

Dalam pengalaman Yasin di Perumahan S o o k a Bangkalan, penggunaan fasos awalnya diserahkan kepada warga setempat. "Namun, karena warga tidak slap untuk membentuk lembaga yang ber­badan hukum, akhimya says serahkan ke Muhammadiyah yang memang sudah berbadan hukum," papar Yasin. Karena itu, saran Yasin, dalam setiap perumahan memang harus ada warga Muhammadiyah yang masuk sebagai upaya pengembangan dakwah.

Sementara tambahan fasum atau fasos yang bukan sebagai kewajiban minimal pengembang, sangat tergan­tung pada pengembang sendiri, yang biasanya untuk menarik minat pembeliataupun niatan dakwah. Lazimnya pe­ngembang berdarah Muhammadiyah, Yasin pun berencana untuk melengkapi perumahannya dengan fasos berbendera Muhammadiyah. Diantaranya untuk pendidikan, rumas sakit, dan kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah.

Merias perumahan sebagai kegiatan bisnis sekaligus sosial keagamaan. juga dilakukan H Bisri Ilyas. "Prinsipnya semua kegiatan adalah ladang aural," papar pengembang Gresik Kota Baru (GKB) tersebut. Tak heran jika di kom­pleks ini juga berdiri pendidikan dan perguruan tinggi Islam. Haji Bisri memberikan wakaf tanah untuk komplek perguruan Muham­madiyah GKB dan Universitas Muham­madiyah Gresik.

Tentu saja Bisri tidak bisa langsung terlibat langsung da­lam 'mengisi' pendi­dikan itu. Namun dia terlibat dalam proses pendirian gedung pendidikan. Bisri melihat dunia pen­didikan merupakan tempat paling tepat untuk mengamalkan ilmu yang berman­faat. "Inilah suatu amalan yang tidak akan terputus sekali­pun kita telah tiada," ungkapnya.

Bisri memandang, pendidikan merupakan kunci masa depan bangsa, sementara agama adalah pondasi dasar yang harus diperkokoh. "Bisnis perumahan itu aman, memu­askan dan berpahala. Kita membantu orang berbahagia memiliki tempat tinggal. Kita juga membantu mencip­takan lingkungan budaya," terang Bisri tentang berbagai `keuntungan' dunia akhirat bisnis perumahan.

Merias Aktivitas Masjid
Selain cerita tentang `pengelolaan' fasos, sebagaimana yang disinggung (aim) Kuntowijoyo, era kekinian telah melahirkan generasi baru yang disebut­nya 'Muslim tanpa Masjid'. Tempat lahir mereka ialah kota metropolitan seperti Jakarta, kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Makasar, Medan, Bandung, dan kota-kota menengah se­perti Yogyakarta, Padang. Berta Manado (klasifikasi kota ini mungkin tidak pas benar - red). "Nlereka tak banyak me­ngunjungi Masjid, tempat umat berkum­pul," papar Kunto tentang penyebab generasi yang tidak merasa sebagai bagian umat tersebut.

Ketimpangan yang berupa hilangnya perasam sebagai bagian dari umat dalam kesadaran generasi bare Islam itu. menu-rut Kuntowijoyo, merupakan akibat dari minimnya daya tarik Masjid di mata me­reka. Akibat lebih jauh, mereka tidak seninc, mengunjungi Masjid, sehingga terasing dari umat. Masjid sebagai simbol agama yang signifikan tidak banyak menyajikan pilihan­pilihan kegiatan yang menarik. "Sekolah menjadi lebih menyenangkam sebab mereka beigaul dengan kelompok seumur mereka."

Pengetahuan agama mereka juga ti­dak didapat dari lembaga-lembaga Islam konvensional, seperti Masjid, pesantren, dan madrasah atau dari perseorangan, seperti kiai, ustadz, ulama, dan dal. Mereka mendapatkannya dari sumber­sumber vang anonim, seperti kaset, CD, VCD, internet, radio, dan TV Buku-buku. majalah, dan brosur keagamaan juga didapat dari sumber anonim, seperti penerbit. kursus-kursus tertulis, seminar, dan ceramah. "Guru agama di sekolah lebih merupakan fungsi yang anonim tanpa ikatan yang konkret, sama seperti seorang bayi yang mendapat susu dari botol dan tidak dari ASI papar Budaya­wan Muhammadiyah tersebut.

Untuk mengatasi problem tersebut, menurut Kunto, setidaknya ada tiga cara untuk mengintegrasikan mereka ke dalam umat: adanya jamaah. Masjid, dan ormas Islam. Jamaah sekolah atau kampus harus dapat melahAan lingkaran studi Islam, perkumpul­an kesenian, dan sebagainya yang memaksa mereka berhubungan dengan masyarakat di luar kampus. "Kebiasaan mendatangkan orang luar ke kampus itu akan memecahkan eksklusivitas kampus."ielasnya.

Cara yang kedua adalah kebera­daan Masjid di sekolah/kampus harus membuat (maha)siswa yang terlibat di dalamnya lebih reasonable, rasional, demokratis, dan tidak radikal. Semen­tara langkah terakhir, ormas Islam harus menjalin komunikasi dengan lembaga pendidikan. Dari sejarah Muhammadi­yah. Kunto melihat ada pelajaran bahwa komunikasi antara sekolah dan masyarakat tidak akan terputus bila ada, keterlibatan masyarakat dalam sekolah, terutama lewat organisasi otonomnya. "Kiranya ormas-ormas Islam sendiri harus berusaha supaya keberadaan me­reka tidak mengganggu, tapi sebaliknya membantu," papar Kunto

Berbeda sedikit dengan Kuntowi­joyo, pengamat keagamaan Budhy Munawar-Rachman, justru menilai pen­tingnya revitalisasi Masjid sebagai pusat peradaban. Lahirnya generasi 'Muslim tanpa Masjid', dan tentunya juga luntur­nya perasaan dari lembaga keagamaan Islam, merupakan bentuk otokritik terhadap keduanya. "Bisa jadi mereka meninggalkan Masjid dan ormas-ormas Islam lainnya karena belum mewakili gerakan mereka," jelas Budhy.

"Ormas Islam harus mentrasformasi diri sehingga menjadi lebih hirau pada isu-isu kaum marginal seperti kaum buruh dan petani. Masjid harus dapat berfungsi menghubungkan kesadaran umat pada dataran spiritual dengan sek­tor publik seperti ekonomi, politik, pen­didikan dan kebudayaan," paparnya.

Jika masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya gagal rnela­kukan ikhtiar transformasi diri sehingga menjadi lebih peduli pada isu-isu populis, bukan mustahil makin banyak generasi Islam jauh dari Masjid. Karena itu, saran Budhy, masjid harus aktif memfungsi­kan sebagai tempat ibadah dan tempat mengayomi dan membina umat. "Menja­dikan Masjid sebagai pusat peradaban, tak pelak menuntut ketersediaan fasilitas yang relevan sesuai dengan perkembangan za­man," papar Direktur Yayasan Paramadina Jakarta tersebut.

Namun, karena sulit untuk me­menuhi semua fasilitas, maka sebuah Masjid harus membuat Skala prioritas yang tentunya berbeda antara sate Mas­jid dengan Masjid lainnya. "Idealnya ada spesialisasi antara berbagai Masjid, sehingga terjadi efisiensi dan efektifi­tas," tambah Budhy. Dimintai komentar tentang fungsi Islamic Center yang banyak berdiri di berbagai kota, Budhy memandangnya secara positif, meski dig juga melihatnya belum berjalan secara maksimal.
Sebuah tantangan untuk Muham­madiyah yang memiliki banyak Masjid untuk merias aktivitas Masjid agar lebih menarik umat. Mau?

No comments:

Post a Comment