Tuesday, February 1, 2011

Tahun Baru

Tahun ini, dua tahun baru masih berhimpitan. Tahun baru Hijriyah. 1 Muharam 1432, bertepatan dengan tanggal 7 Desember 2010. Tahun lalu, kedua tahun baru ini lebih berhimpitan lagi, karena selisih antara tahun Hijriyah dengan tahun Masehi lebih cepat sekitar 10,3 hari. Tahun Hijriyah terdiri 354 hari. Meski berhimpitan, dinamika perayaan masyarakat dalam memperingati kedua tahun baru ini sangat berbeda.

Tahun baru Masehi umumnya dirayakan dengan berbagai kegiatan yang lebih bersifat duniawi. Berbagai jenis hiburan, termasuk yang menafikan moralitas keagamaan, ber­gema di mana-mana. Tempat-tempat wisata berlomba pagelaran yang sampai tak meng­indahkan norma susila.

Pada mulanya, tahun baru Masehi di­rayakan.oleh orang Yahudi clan orang kafir yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya, menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tang-gal 1 Januari. Orang Kristen ikut merayakan tahun baru tersebut dan mereka mengaclakan puasa khusus Berta ekaristi berclasarkan ke­putusan Konsili Tours pada tahun 567.
Saat itu, setiap negeri mempunyai perayaan tahun baru yang berbeda-beda. Di Inggris dirayakan pada tanggal 25 Maret. Di Jerman dirayakan pada hari Natal, sedangkan di Perancis dirayakan pada hari Paskah. Paus Gregorius XIII kemudian mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582, clan hingga kini seluruh clunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Di Indonesia sekarang, merayakan tahun baru Masehi seo­lah menjadi kebutuhan. Banyak orang menilai, tidak mengikuti perayaan tahun baru Masehi berarti ketinggalan zaman, tidak modern. Apalagi kalangan muda. Mereka tak mau ketinggalan sedikit pun momentum pergantian tahun itu.

Agak beda dengan tahun baru Masehi, tahun baru Hijri­yah lebih banyak diperingati dengan sejumlah kegiatan yang bersifat Islami. Karena memang momentum ini sesungguh­nya berawal dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah. Namun kemudian menjadi berbau klenik ketika 'dirapatkan' dengan kalender Jawa, 1 Suro. Kesamaan kalender Jawa dengan Islam karena sama‑sama menggunakan patokan perputaran bulan, menjaclikan peringatan kedua tahun baru ini rancu. Satu sisi diperingati dengan nuansa keislaman, sisi lain diperingati dengan nuansa kejawen yang justru ada beberapa yang bertentangan dengan Islam.

Sebenamya, secara substantif, ada dua sa­saran dalam setiap memperingati tahun baru: mengenang sejarah peristiwa munculnya tahun tersebut, clan untuk introspeksi. Sejarah tak bisa dilepaskan dari tata kehidupan ke­kinian. Persoalan-persoalan kehidupan bisa dicarikan solusi dengan belajar pada sejarah. Apa yang terjadi sekarang, sebenarnya tak banyak beda dengan apa yang sudah dialami oleh orang-orang terdahulu. Dan, apa yang ada sekarang tak lepas dari peran orang­orang sebelumnya. Itu sebabnya, ada yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya.

Disamping itu, memperingati tahun baru tak lepas dari bagian perenungan diri atas segala tindakan yang telah kita lakukan dalam satu tahun terakhir. Kita perlu selalu ingat bahwa apabila hari ini lebih buruk dari hari kemarin, berarti celaka. Kalau hari ini sama dengan kemarin, berarti rugi. Dan bila hari ini lebih balk dari kemarin, itulah sesungguhnya kehidupan yang harus kita lakukan.

Karena itu, bila peringatan tahun baru. Hijriyah ini ke­mudian diisi dengan hura-hura, maka kita tidak beda dengan orang-orang yang memperingati tahun baru Masehi. Kalau diisi dengan kegiatan-kegiatan berbau tahayul, maka kita tak ubahnya seperti orang-orang kejawen. Sebagal umat Islam yang mengaku tact bersyariah, tentu peringatan tahun baru Hijriyah diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa ke­sejarahan Islami clan introspeksi. Bukankah setiap tahun baru menandakan bahwa umur kita berkurang setahun?

No comments:

Post a Comment