Monday, March 7, 2011

Manusia Politik, Manusia Aktif

H. Soewarto Sumoprawiro

Sore itu hujan tengah mengguyur Situbondo. Di rumah sederhana, tampak lelaki tua sedang duduk di ruang tamu. Ditemani serakan kertas tanpa musik, orang tua itu sibuk menulis. "Mari silahkan masuk," kata pria tua berkacamata, ini ketika MATAN datang berkunjung.

Di ruang tamu yang tak begitu rapi itu, Soewarto biasa menerima tamunya. Ruang tamu berinterior minimalis itu biasa dia pakai untuk melakukan aktivitas menulis surat,. mencatat hal-hal penting tentang masalah agama, sosial, dan politik yang terjadi di Situbondo. "Maaf, belum sempat beres-beres. Maklum jadi lelaki yang sendiri sekarang," celetuk Soewarto.

Itulah salah satu kegiatan Soewarto dalam mengisi hari-hari tuanya. Kertas-kertas yang berserak di meja, merupakan kumpulan naskah untuk buku kom¬prehensif tentang sejarah Situbondo. "Kebetulan oleh teman-teman, saya dipercaya sebagai Ketua tim untuk me¬luruskan Hari Jadi Situbondo. Sejarah ini hams diluruskan karena Situbondo dianggap lahir pada 1972," terang Soe¬warto tentang pembuatan `buku putih' tersebut.

Memang, sejak dua tahun lalu, istri Soewarto meninggal dunia. Sebagai duda, beranak lima, Soewarto lebih memilih aktivitas keseharian di tempat tinggalnya tanpa mau merepotkan keluarga.  "Tapi, ada seorang anak yang tinggal dekat sini," katanya.

Soewarto Sumoprawiro, begitu nama lengkapnya, termasuk tokoh tua Muhammadiyah Situbondo. Perjuangan di Muhammadiyah penuh lika-liku politik. Sebab, saat itu negeri ini sedang dalam kondisi transisi dan Orde Baru menuju Orde Reformasi. Menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Situbondo 1995-2000, menjadi masa-masa sulit bagi Soewarto. "Sulit bagi saya untuk menentukan sikap dalam politik saat itu," kisahnya.

Namun, sebagai warga Muhammadiyah yang pantang mundur dalam menyikapi situasi bangsa, Soewarto pun memberanikan diri untuk menyukseskan gagasan reformasi yang dikumandangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais. Dalam pandangannya, Indonesia yang dicita-citakan Amien Rais saat itu selaras dengan cita-cita Muhammadiyah menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Karena itu, ketika Amien Rais mendirikan Portal Amanat Nasional (PAN), Soewarto pun membidani kelahiran partai ini di Situbondo, dan menjabat sebagai Ketua.

Meski demikian, tetap saja ada pembeda sosok ini dengan politikus konvensional. Sebab, meski terbuka peluang untuk menjadi anggota legislatif sebagai konsekuensi model pemilihan umum proporsional tertutup, dia memilih menolak untuk menuju kursi dewan. "Hanya ingin membesarkan Muhammadiyah melalui PAN, karena saat itu Pak Amien membawa visi Muhammadiyah, begitu cerita tentang kesediaannya mau memimpin partai politik `tanpa hasrat berkuasa'.

Dunia politik pemerintahan sebenarnya memang bukan dunia yang benar-benar bagi Soewarto. Sebab, sebelumnya dia pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial-Politik Pemerintah Kabupaten Situbondo (1971-1976), yang urusan kerjanya juga tidak jauh dari politik. Lazimnya pegawai negeri sipil (PNS) di masa Orde Baru, dia pun menjadi anggota Golkar setempat dengan jabatan Ketua Pemenangan Pemilu.
Pengalamannya bersentuhan dengan banyak pihak, itu tampaknya menjadi salah satu alasan dia terpilih sebagai Ketua PDM saat dia pensiun dari PNS. Selama memimpin Muhammadiyah di daerah minoritas, Soewarto mengaku menghadapi kesulitan dalam mengembangkan dakwah pencerahan. Meski segala upaya telah dicurahkan, seperti berdakwah di wilayah Tapal Kuda lainnya, perjuangan memang membutuhkan tenaga ekstra.

Kekuranggembiraan hasil dakwah Muhammadiyah itu tampak dari perkembangan Muhammadiyah periode kepemimpinannya yang kurang begitu memuaskan, meski sudah menghasilkan banyak masjid baru Muhammadiyah yang bermunculan. "Faktor utamanya lebih pada budaya masyarakat, terutama dalam masalah fiqhiyah yang sudah terlanjur dianggap kebenaran," analisanya tentang kesulitan Muhammadiyah Situbondo melebarkan sayap.

Lazimnya seorang pimpinan, pengalaman mampu memecahkan persoalan yang dihadapi pimpinan di level bawahnya, selalu menjadi file kepuasan tersendiri. Pada periode Soewarto ini pula terdapat pemekaran Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) secara signifikan. Salah satunya adalah PCM Situbondo Kota, yang awalnya terdiri dari tiga Kecamatan kini sudah mekar menjadi tiga: Situbondo Kota, Panji, dan Asembagus.

Sebelum dipercaya sebagai Ketua PDM, persentuhan Soewarto dengan Muhammadiyah bukanlah terjadi dalam masa sekejap. Bahkan, bisa dikatakan dia telah ber-Muhammadiyah sejak lahir. Darah Muhammadiyah didapatkan dan keluarganya. "Ayah saya termasuk salah satu anggota Muhammadiyah," akunya.

Soewarto lahir pada 31 Oktober 1929 dari pasangan Sumoprawiro dan Suparni. Dia merupakan anak ke-4 dari 6 bersaudara, dan mendapatkan gemblengan tentang kerja keras dari keluarganya. Meski lahir di Situbondo, tapi orangtuanya adalah kaum urban: Ayahnya asli Lumajang dan Ibunya asli Kencong, Jember.
Besar di lingkungan Muhammadiyah membuat Soewarto mengenal organisasi ini sejak usia kecil. Pada tahun 1942, ketika duduk kelas 6 bangku sekolah dasar, Soewarto mulai ikut aktif dalam kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan (HW).

Sekali dalam sepekan di sore hari, dia mengikuti latihan HW yang diselenggarakan di pusat kota. "Untuk tingkat Athfal, jumlah anak yang ikut latihan lumayan banyak. Meski sifatnya sukarela, kami dulu dibagi dalam dua regu. Jumlah itu belum termasuk kelompok Pengenal dan Penghela yang lebih banyak lagi," kenangnya tentang peserta HW.

Kebersamaan Soewarto dengan HW harus terputus karena harus menjalani pendidikan kelas 2 tingkat SMP di Jember pada 1945. Dua tahun berikutnya, dia sebenarnya telah mentas dari jenjang pendidikan SMP. Namun, karena sekolah SMA termpatnya menuntut ilmu belum diakui pemerintah, maka dia tetap duduk di SMP dengan kelas aneh: empat. Ketidakstabilan politik Indonesia era 1950-an pula yang membuat Soewarto harus balik ke Situbondo, dan bekerja di Pemkab setempat.

Kemudian pada 1957, Soewarto menanggalkan status lajangnya dengan menikahi Sumiyati. Selama 51 tahun menjalani bahtera keluarga, pasangan ini dikarunia 5 anak: Indriatik, Pipin Sofiana, Drs Rudi Hermanadi, Lilik Deliantina, dan Dadang Hermawan. Semuanya telah berkeluarga yang kini telah memberikan 11 cucu dan 3 cicit.

Karirnya sebagai pejabat Pemkab terbilang cemerlang. Soewarto sering ditugaskan ke luar kota untuk menyelesaikan persoalan. Dia pernah dikirim untuk bertugas ke Kabupaten tetangga, Bondowoso sebagai Camat, sejak 1960 hingga 1971. Kembali ke Situbondo, dia langsung menjadi Kepala Dinas Sosial-Politik (1971-1976), kemudian Kepala Bagian (Kabag) Pembangunan Pemkab Situbondo (1976-1978), serta Pembantu Bupati wilayah Panarukan hingga pensiun pada 1985.

Setelah pensiun pun diminta Pemkab untuk menjadi Direktur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak dalam pertebuan (1985-1991). Di sela-sela menjalankan amanat jabatan, Soewarto tetap tidak melupakan asalnya sebagai warga Persyarikatan. Meski belum bisa in-tens, dia tetap aktif dalam kegiatan Persyarikatan mulai tingkat ranting dan cabang. Puncaknya, setelah benar-benar pensiun dari kegiatan pemerintahan, dia terpilih sebagai Ketua PDM. Setelah usai kepemimpinan Muhammadiyah tahun 2000, posisi resmi sebagai Penasehat PDM. "Dakwah Muhammadiyah memang harus tegas, tetapi tetap harus lentur," begitu salah satu pesannya bagaimana membesarkan dakwah Muhammadiyah di daerah minoritas.

No comments:

Post a Comment