Thursday, March 10, 2011

Membandingkan Anak

Pengasuh: Lely Ika Mariyati, S.Psi.
Konsultan Psikologi di Lembaga Pendidikan Orang Tua dan Anak Dinar

Saya adalah seorang Ibu yang memiliki 3 anak laki-laki. Yang pertama berusia 7 tahun, yang kedua 6 tahun, dan terakhir 2 tahun. Anak pertama cukup pendiam dan suka membaca, bahkan setiap 1 ming¬gu sekali dia selalu minta diantar ke perpustakaan dekat sekolah. Sementara anak kedua kebalikannya, yang menurut saya, dia sangat aktif dan suka bermain dengan teman-teman sebayanya. Kalau saya minta belajar sama kakaknya, dia tidak pernah mau.

Saya pernah mendengar dari seorang psikolog bahwa orangtua tidak boleh membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya. Namun, saya sering melakukannya karena saya berharap anak kedua suka membaca dan belajar seperti anak pertama. Cara saya membandingkan biasanya dengan kalimat: "Dik lihat tuh kakakmu lagi asyik membaca, mbok kamu seperti itu! Mama papa pasti senang dan kalau adik bisa seperti itu. Nanti mama kasih hadiah". Apa cara saya ini benar-benar salah, terus apa yang harus saya lakukan? Saya cuma ingin anak saya bisa menjadi anak yang baik

Ibu ID,Tulungagung



Terima kasih atas kepercayaan Ibu Id dengan mengkonsultasikan permasalahan pada kami. Sebenarnya, dari cerita singkat ini, tampak sekali bahwa Ibu adalah seseorang yang sangat menyayangi putra-putrinya.

Memang benar bahwa membanding-bandingkan anak satu dengan yang lain adalah pendekatan atau pola hubungan yang tidak mendidik pada seorang anak. Sikap favoritisme orangtua terhadap seorang anak, baik berdasarkan pada tampilan fisik, perbedaan sikap dan perilaku laku, sadar ataupun tidak, secara psikologis akan memicu perbedaan dedikasi emosional dalam perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya:
Pada dasarnya, perhatian, kasih, dan sayang orangtua adalah kebutuhan yang paling utama bagi perkembangan anak. Sikap favoritisme pada salah satu anak akan memicu terjadinya persaingan antar saudara kandung atau sibling rivalry. Perbedaan usia anak pertama dan kedua Ibu Id yang terlalu dekat sangat beresiko terjadinya rivalry karena pada saat yang sama, mereka membutuhkan perhatian yang sama untuk perkembangannya.

Kalimat yang Ibu contohkan untuk memotivasi anak kedua adalah kalimat membandingkan. Namun hasilnya malah sebaliknya. Anak bukan terpacu, tetapi justru makin merasa tersudut dan menganggap dirinya bukanlah apa-apa atau seseorang yang tidak punya arti apa-apa. Untuk menggantikan perasaan ketidakberdayaannya, menurut Hurlock (seorang ahli psikologi perkembangan), anak akan menunjukkan dua macam reaksi. Pertama, bersifat langsung, yang dimunculkan dalam bentuk perilaku agresif mengarah ke fisik, seperti menggigit, memukul, mencakar, melukai dan menendang, atau usaha yang dapat diterima secara sosial untuk mengalahkan saingannya. Kedua, reaksi tidak langsung yang bersifat lebih halus sehingga sukar untuk dikenali, seperti mengompol, pura-pura sakit, menangis dan menjadi nakal.

Oleh karena itu, pandanglah anak sebagai individu yang unik. Kenalilah anak kedua Ibu sebagai sosok yang memiliki potensi. Sehingga Ibu tidak perlu memaksakan suatu tindakan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan karakter anak. Selain itu, janganlah terlalu pelit dalam memberikan pujian pada anak atas setiap sikap atau perilaku yang positif, dan bersikap proporsional serta memperbanyak diskusi dalam menyikapi pelanggaran yang dilakukan anak. Pujian ini sangat diperlukan untuk memperkuat motivasi anak dalam melakukan hal-hal baik.

Akhirnya, dengan para orangtua seperti itu, anak akan merasa bangga akan dirinya sendiri sehingga anak pun akan merasa optimis dan terdorong untuk mempelajari hal-hal bare termasuk pelajaran di sekolahnya. Biarlah anak tumbuh seperti bunga di alam dengan iramanya masing-masing. Semua anak mempunyai pesona yang berbeda-beda.

No comments:

Post a Comment