Oleh: Nur Cholis Huda
Cerita ini saya ambil dari ciptoadhisetiawan.blogspot.com. Ghana, Kepala cabang sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumah pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Annisa, putri pertamanya yang baru duduk dikelas 3 SD membukakan pintu untuknya. Ia sudah menunggu cukup lama.
"Kok, belum tidur?" sapa Ghana sambil mencium anaknya. Biasanya Annisa sudah lelap ketika is pulang. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Annisa berucap: "Aku nunggu Ayah pulang, sebab aku mau nanya, berapa sih gaji ayah?"
"Lho tumben, kok nanya gaji ayah? mau minta uang lagi, ya?"
"Ah.enggak, pengen tahu aja," ucap Annisa.
"OK..kamu boleh hitung sendiri, setiap hari ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp.400.000. Dalam sebulan rata-rata 22 hari kerja. Sabtu-Minggu libur, jadi gaji Ayah dalam 1 bulan berapa hayoo?"
Annisa berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Ghana beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Annisa berlari mengikutinya. "Kalau satu hari Ayah dibayar Rp.400.000 untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp.40.000, dong," katanya.
"Wah, pintar. Sekarang cuci kaki dan terns tidur", perintah Ghana. Tetapi Annisa tidak beranjak, sam¬bil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Annisa kembali bertanya, "Ayah, aku boleh nggak pinjam uang Rp.5000?"
"Nggak usah macam-macam lagi, buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek, dan mau mandi dulu, tidurlah".
"Tapi Ayah..."
Kesabaran Ghana pun habis. "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Annisa. Anak kecil itupun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Ghana menyesali hardiknya. Ia pun menengok Annisa di kamarnya. Anak kesayangannya itu belum tidur, didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000 di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Ghana berkata, "Maafkan Ayah, Nak, Ayah sayang sekali sama Annisa. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp 5.000, lebih dari itu pun ayah kasih," kata Ghana
"Ayah, aku enggak minta uang, aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan dari uang jajan yang kutabung selama minggu ini"
"Iya, tapi buat apa"? tanya Ghana lembut.
"Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku sudah lama ingin ajak Ayah main ular tangga, tiga puluh menit saja. Mama bilang waktu ayah sangat berharga. Jadi aku mau ganti waktu ayah. Ayah bilang satu jam dibayar Rp 40.000, maka setengah jam aku harus ganti Rp 20.000. Tapi duit tabunganku hanya Rp 15.000. Jadi kurang Rp 5000, makanya aku mau pinjam dari ayah," kata Annisa polos.
Ghana pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan hare. Dia baru menyadari temyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.
Kita semua, saya dan Anda tentu menyayangi anak kita. Ingin selalu memberi yang terbaik. Persoalannya, bukan seberapa besar pemberian yang telah kita berikan kepada mereka tetapi seberapa besar anak-anak itu merasakan pemberian kita. Banyak orangtua merasa telah memberi limpahan perhatian dan kasih sayang, tetapi anak-anak tidak merasa mendapatkannya bahkan merasa diabaikan, tidak diperhatikan. Kita berikan sesuatu tetapi mereka sebenarnya ingin sesuatu yang lain.
Sering kita merasa tahu segalanya tentang anak kita. Padahal kita tidak benar-benar paham keinginan mereka. Merasa tahu fakultas yang cocok untuk mereka, sekolah, tempat rekreasi, warna pakaian, selera makan dan sebagainya. Annisa hanyalah satu dari jutaan anak yang kurang dipahami orang tuanya.
Penyebabnya mungkin sederhana. Kepada anak-anak, kita lebih banyak bicara daripada mendengar. Padahal menjadi pendengar yang baik adalah kunci bisa memahami anak-anak. Bibir kita satu, telinga kita dua. Ini isyarat agar kita mendengar dua kali lebih banyak daripada bicara. Tetapi yang sering terjadi, kita bicara berlipat-lipat lebih banyak daripada mendengar.
Yang lebih parah, ada orangtua yang sangat jarang mendengar sekaligus sangat jarang bicara kepada anaknya. Bah¬kan sekedar tatap muka pun jarang. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Mengejar karir dan impian lain. Mereka kaget setelah sesuatu telah terjadi atas diri anaknya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. •
No comments:
Post a Comment