Suatu sore di pelataran Masjid Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Seorang pria tua berpenampilan lusuh, tangannya licin penuh dengan bekas minyak oles duduk bersila menanti orang-orang keluar dari masjid. Bibirnya lincah seolah telah terbiasa mengucapkan kata-kata itu guna menawarkan jasa. Dialah seorang tukang pijat Muktamar, yang memang sengaja bertolak ke kota Gudeg itu untuk mencari keberuntungan melalui jasa pijatnya.
Adalah Adi S Mahendra (67), nama lengkap tukang pijat dadakan tersebut. Karena Muktamar Muhammadiyah satu abad itu, berbagai orang dari seluruh penjuru Indonesia datang menghadirinya, tak terkecuali tukang pijat dadakan. Aktivitas ini dinilai mendatangkan profit lebih daripada harus diam di rumah, menunggu panggilan memijat.
Pria kelahiran Madura yang kini tinggal di Situbondo itu telah menekuni profesi tukang pijat keliling dari berbagai kota selama 21 tahun. Ia beberapa kali mengikuti Muktamar mulai di Jakarta, Malang, sampai saat ini di Yogyakarta. "Saya sudah tiga kali ikut Muktamar, mulai di Jakarta, Malang, dan hingga sekarang di Yogyakarta ini," tutus pria tua ini. Dan seperti biasanya, Mbah Di -panggilan akrabnya- tidak hanya sebagai tukang pijat urut seperti lazimnya tukang pijat biasa. Namun, dia juga menyediakan layanan teknik bekam bagi yang berkeinginan.
Mbah Di bukanlah satu-satunya tukang pijat dadakan di acara Muktamar beberapa pekan lalu. Tetapi, banyak tukang pijat lokal yang juga berhamburan di sekitar area Muktamar. Mereka berasal dari sekitar Yogyakarta dan beberapa kota di Jawa Timur seperti Situbondo dan Madura. Walau begitu, mereka tetap terlihat akrab dan berbagi pelanggan dengan yang lainnya.
Meski hujan rintik membasahi, tak menyurutkan semangat Mbah Di untuk menawarkan jasanya. Bermodal minyak oles dan alat bekam, dia mematok jasanya dengan tarif Rp 30.000-50.000 sekali pakai. Satu orang dipijat sekitar tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Dengan berbagai pilihan layanan pijat, di antaranya pijat refleksi, pijat capek, atau bekam. "Yang biasa tarifnya tiga puluh ribu, sementara yang spesial pakai minyak lima puluh ribu," ujamya dengan senyum terkembang.
Meski tarif yang dipasang lebih mahal dari hari biasa, namun pasien yang ditangani Mbah Di tetap membludak. Dari pengakuannya, jika waktu mangkalnya dilakukan setelah shalat Dzuhur hingga Ashar, maka is bisa melayani minimal lima pasien.
"Alhamdulillah baru setengah hari sudah dapat 8 orang, mullah-mudahan besok juga tetap dapat banyak pasien," ucapnya penuh syukur. "Makanya saya tak mau ketinggalan momen berharga ini. Karena selain dapat uang lumayan, kita juga bisa menyaksikan keme¬riahan pesta yang diselenggarakan," tambah Mbah Di.
Mbah Di datang jauh-jauh dari Situbondo bersama dengan dua orang teman yang kebetulan berasal dari sate kampung. "Saya datang bersama tetangga satu kampung, Thohir dan Hojir," jelasnya. Saat ditanya mengenai berapa hari sekali pulang ke kampung halaman, menurut Mbah Di, tidak tentu bisa: berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pokoknya, uang sudah terkumpul. Karena itu, salah satu berkah Muktamar baginya adalah bisa pulang menemui anak istrinya lebih cepat karena penghasilannya meningkat cepat. "Alhamdulillah habis Muktamar ini saya bisa langsung pulang, karena kami belum pulang selama sebulan terakhir," ungkapnya.
Keberadaan Mbah Di dan tukang pijat lainnya memberi manfaat kepada para peserta yang hadir dari berbagai pelosok negeri, terutama bagi mereka yang sudah tak muda lagi. M Yasri (71) misalnya, keriput-keriput diwajahnya tak dapat disembunyikan, dengan tertatih-tatih ia paksa kakinya untuk tetap berjalan menopang raganya. Setelah tertatih-tatih, dia menyandarkan tubuhnya di lantai depan masjid. Sesaat kemudian dia melihat para penyalur jasa penghilang lelah tersebut, dan diputuskan untuk meminta jasanya.
Dengan perlahan-lahan, jari-jari Mbah Di mulai memijatnya hingga rasa lelahnya pun berangsur pergi. "Wah, setelah dipijit rasanya jauh lebih enak. Kalau begini kan Saya jadi siap mengikuti Muktamar hingga selesai," tuturnya. [fifin]
No comments:
Post a Comment