Thursday, September 2, 2010

Demokrasi Unik

Demokrasi Ala Matahari

Demokrasi yang dipraktikkan Muhammadiyah bisa dibilang unik. Perlu kesabaran, kecerdasan, dan benar-benar menjunjungtinggi musyawarah.

Di lantai tiga, gedung Asri Medical Center (AMC), Jalan Hos Cokroaminoto, Yogyakarta. akhir Juni. Ratusan utusan Muhammadiyah dari berbagai provinsi se-Indonesia serius berembuk di salah satu sudut ruangan. Tampak khidmat, barisan peserta di tempat duduk yang penuh itu mendengarkan pidato iftitah Prof DR Din Syamsuddin.

Dengan raut serius, mereka sesekali dibuat tertawa oleh joke-joke yang dilempar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. "Presiden SBY membuka muktamar lewat teleconference itu maksudnya baik. Beliau tahu kalau Muhammadiyah itu organisasi modern," salah satu ucapan Din yang membuat peserta tanwir sedikit menekuk muka.

Seusai pidato Din, sidang tanwir pun digelar. Selama dua hari, Kamis dan Jumat,192 pimpinan Muhammadiyah dari perwakilan Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah, itu menggodok semua materi muktamar. Tidak hanya pemantapan materi muktamar, sidang ini juga menjadi pintu seleksi terpenting untuk menjaring para pemimpin Ormas Islam bersimbol matahari ini.

***
Mencermati tahapan demi tahapan demokrasi ala Muhammadiyah. terdapat sisi menarik yang tidak dimiliki organisasi mana pun. Demokrasi ala Muhammadiyah dalam memilih pemimpin ini boleh dibilang unik dan spesifik, lebih-lebih di era kebebasan berekspresi seperti Indonesia kontemporer. Jika demokrasi yang berkembang di negeri ini memberi ruang bagi seseorang untuk mencalonkan diri, maka tradisi itu tidak ada dalam Muhammadiyah. "Berebut untuk menjadi pemimpin itu sesungguhnya bukan merupakan kultur Muhammadiyah," papar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof DR A. Syafii Maarif.

Maka tak heran jika ada seseorang kader sampai `meminta dukungan' untuk dipilih, dipastikan akan langsung tersungkur. Bahkan, membentuk tim sukses untuk kepentingan (ambisi) pribadi dalam suksesi kepemimpinan ini rasanya memang tidak layak dilakukan. Sebab, Muhammadiyah berbeda dengan parpol. "Kalau hal itu sampai terjadi, Muhammadiyah sebagai kekuatan sipil yang diharapkan untuk ikut memperbaiki moral bangsa akan menjadi teka-teki dan berputus asa. Siapa lagi yang bisa diharapkan dapat memperbaiki keadaan kalau sudah begini," tambah Buya.

Yang perlu dicatat lagi, meski muktamar merupakan permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah untuk menentukan kepemimpinan, tetapi Tanwir juga bisa disebut sidang penentu. Dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah pasal 23 ayat 6(a) disebutkan, anggota Tanwir terdiri dari empat unsur. Selain 13 anggota PP, juga Ketua PWM atau penggantinya yang telah disahkan PP, Wakil PWM antara 3 sampai 5 orang berdasarkan perimbangan daerah, serta wakil Ortom tingkat Pusat masing-masing dua orang. "Mudahnya, PWM yang gemuk diwakili 6 orang, yang kurus 4 orang, dan yang tanggung 5 orang," kata DR Abdul Mu'ti, MEd.

Istilah tanwir memang khas Muhammadiyah. Yaitu sebuah permusyawaratan setingkat di bawah muktamar. Dalam satu periode kepemimpinan diharuskan minimal tiga kali terselenggara. Agendanya, selain membicarakan masalah-masalah mendesak yang tidak memungkinkan menunggu muktamar, juga menyiapkan perangkat muktamar, antara lain menetapkan tata tertib pemilihan pimpinan.

Dalam kontek muktamar ke-46, tata tertib pemilihan pimpinan dan Panlih (Panitia Pemilihan) telah ditetapkan dalam Sidang Tanwir di Lampung, (5-8 Maret 2009). Jadi secara operasional, praktik demokrasi pemilihan 13 anggota PP periode 2010-2015 sebenamya telah dimulai sejak jauh hari. Selanjutnya, para anggota tanwir diberi formulir untuk mengajukan 13 nama calon. "Mekanisme ini otomatis menutup peluang bagi seseorang untuk mencalonkan diri secara tiba-tiba ketika muktamar berlangsung," kata Ketua Panlih, Rosyad Sholeh.

Dari 13 nama yang diusulkan setiap anggota tanwir. Panlih lantas menginventarisir dan menyeleksinya. Lalu diperoleh total kandidat sebanyak 223 orang, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Panlih dengan mengirimkan formulir kesediaan kepada masing-masing.

Sampai di sini kerja Panlih belum selesai. Panlih kembali meneliti formulir kesediaan / tidaknya para kandidat yang telah dicalonkan, serta administrasi masing-masing bakal calon sementara. Pada muktamar kali ini, Panlih mengamputasi 99 orang dari 223 orang, balk karena alasan tidak bersedia maupun tidak memenuhi persyaratan. "Dari jumlah itu hanya 124 yang bersedia dan memenuhi syarat. Lainnya ada yang bersedia tetapi tidak memenuhi syarat, dan ada pula yang memenuhi syarat tetapi tidak bersedia," ujar Rosyad Sholeh.

Nama-nama yang memenuhi persyaratan administratif itu, lantas dibawa ke sidang tanwir, untuk diperas hingga tinggal 39 orang. Masing-masing anggota tanwir diharuskan memilih 39 nama, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Hasilnya, 39 orang dengan suara terbanyak, ditetapkan sebagai calon tetap anggota pimpinan pusat. Dan, kemudian dibawa dalam sidang muktamar.

Tidak ditemukan alasan fundamental, mengapa harus 39. Tapi yang jelas, angka ini adalah kelipatan tiga dari angka 13. Dari basil rekapitulasi malam Jumat itu, Haedar Nashir menempati posisi teratas dengan perolehan 150 suara. Sementara di posisi kedua terdapat nama Din Syamsuddin dan Yunahar Ilyas yang masing¬masing mendulang 148 suara.

"Dari 192 pemilik hak suara di Sidang Tanwir, hanya 188 orang yang hadir memberikan suara. Hasilnya, 166 suara sah, dan 22 tidak sah," terang Sekretaris panitia pemilihan, Budi Setyawan ST. Meski demikian, suara terbanyak di Tanwir tidak otomatis menjadi pemenang dalam pemilihan di muktamar. Sebab, komposisi anggota tanwir dan muktamar sangat jauh berbeda. Jika tanwir hanya dihadiri oleh 192 orang, anggota muktamar mencapai hampir 2.223, hampir 12 kali lipat.

Sementara jumlah suara tidak sah yang mencapai 22 buah ini tetap saja terasa janggal. Sebab, semua anggota tanwir adalah kalangan terdidik, tapi temyata tidak sedikit yang masih "keliru". "Bagaimana pun tetap sangat repot untuk memilih 39 nama," begitu kesan salah satu peserta tanwir yang ditemui MATAN. Karena itu, peserta yang tergolong sudah "tua" ini mengusulkan agar tanwir mendatang cukup menuliskan 15 atau 26 saja. "Toh, nanti tetap muncul banyak nama calon dan akan mencukupi angka 39."

Sidang tanwir diakhiri dengan pidato ikhtitam oleh Prof Abdul Malik Fadjar. Dia banyak mengurai motivasi dan cita-cita Mu¬hammadiyah untuk menghadapi abad kedua. "Satu abad telah berlalu, abad kedua sudah membentang di depan. Kita harus memiliki cita-cita besar Persyarikatan menuju abad kedua," tutor Malik memberi penekanan.
***

Lalu, rapat-rapat muktamar pun digelar. Tempatnya, di gedung Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta . Rencana sidang Pleno yang seharusnya dilakukan sesaat setelah acara pembukaan di stadion Mandala Krida (3/7), teryata harus molor. Kemacetan transportasi yang mendera seluruh penjuru Yogyakarta membuat kedatangan anggota muktamar dari arena pembukaan tidak bisa tepat waktu.

Barulah keesokan harinya, (Ahad, 4/7) pukul 08.00 wib, rapat muktamar mulai digelar. Sidang Pleno diawali dengan pemaparan PP Muhammadiyah yang melaporkan kinerjanya selama 5 tahun. Secara berurutan, setiap PWM memberi tanggapan sekaligus melaporkan perkembangan organisasi di daerahnya. Menariknya, tidak satu pun PWM yang menolak laporan pertanggungjawaban ter¬sebut. "Ada beberapa suara yang berbeda, tetapi itu tidak substantif," papar pengamat organisasi masyarakat dari Pusat Studi Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi peninjau Muhammadiyah, DR Jajat Burhanuddin.

"PWM Jawa Timur menghargai itu sebagai upaya kerja keras PP Muhammadiyah. Tentu ada beberapa program yang belum bisa dilaksanakan tetapi itu lebih karena situasi dan keadaan. PWM Jawa Timur sendiri menerima laporan tersebut," kata Ketua PWM Jatim, Syafiq A. Mughni. "Sudah cukup baik terutama perkembangan amal usaha Muhammadiyah. Pada prinsipnya kita menerima itu," kata Ketua PWM Sumatera Barat, Khatib Pahlawan Kayo.

Senin keesokan harinya (Senin, 5/7), tibalah sidang Pleno III, yang bagi sebagian orang melihatnya sebagai puncak perdebatan. Meski Muhammadiyah sendiri sebenarnya tidak terlalu mengistimewakan hal ini, terbukti dengan penyelenggaraannya yang sederhana dan penuh kesabaran. Sebanyak 2.223 anggota muktamar yang memiliki hak pilih, mulai memilih 13 anggota PP dari 39 calon tetap hasil Sidang Tanwir.

Pemilihan diawali dari jajaran pimpinan pusat, disusul anggota muktamar dari PWM dan PDM seluruh Indonesia. baru kemudian perwakilan ortom tingkat pusat. Penuh kesabaran, panggilan demi panggilan berurutan silih berganti. Di bilik suara sudah tersedia daftar nama 39 calon tetap. Kemudian, para peserta menuliskan secara manual dalam kartu suara, 13 nama atau nomor calon, tidak boleh lebih ataupun kurang.

Panlih menggunakan 20 bilik suara untuk memilih, dengan 3 kotak suara kaca. Pemilihan dihadiri 10 saksi yang sudah ditetapkan dalam sidang tanwir pula. Setelah pemilihan usai, panitia dengan sigap mengemasi kartu suara untuk diamankan. Bersamaan dengan sidang pleno malam hari, Panlih bersama 20 saksi melakukan rekapitulasi dengan 10 komputer, dibantu 20 petugas.

Begitu data dientri, grafik perolehan suara dari masing-masing calon otomatis muncul dalam bentuk peringkat. Bebeda dengan cara konvensional yang masih harus mengecek lagi berapa jumlah perolehan posisi pertama dan kedua, hingga posisi ke-13. Rekapitulasipun berlangsung cepat, hanya perlu waktu tiga jam.

Dari 2.223 suara yang masuk, sebanyak 2.186 suara dinyatakan sah, dan 37 suara lainnya gugur. Rekapitulasi akhir perhitungan 13 besar yang dilakukan di Gedung AR Fachrudin Unit B UMY ini menempatkan Din Syamsuddin sebagai peraih suara terbanyak (1915). Disusul Muhammad Muqoddas dengan 1650 suara, A. Malik Fadjar (1.562), Dahlan Rais (1.508), Haedar Nashir (1.482), Yunahar Ilyas (1.431), Abdul Mu'ti (1.322), Agung Danarto (1.034), Syafiq A. Mughni (952), Fatah Wibisono (942), M. Goodwill Zubir (931), Bambang Sudibyo (887), dan Syukriyanto AR (797).

Dari penghitungan suara yang dilakukan hingga malam hari, itu terdapat 4 nama baru yang masuk dalam 13 besar. Yakni Agung Danarto (Ketua PWM DIY), Syafiq A Mughni (Ketua PWM Jatim), Abdul Mu'ti (Sekretaris Majelis Dikdasmen PP) dan Fatah Wibisono (Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP). "Nah, setelah penetapan, 13 nama ini bermusyawarah untuk menentukan ketua umum dan sekretaris umum," papar Budi Setiawan.

Lagi-lagi, publik pun harus bersabar menunggu kepastian siapa yang akan menjadi ketua umum. Sebab, peraih suara terbanyak dalam pemilihan 13 anggota PP tidak otomatis menjadi ketua umum – meski pada beberapa muktamar terakhir tidak pernah meleset dari peraih suara terbanyak. "Ketua Umum Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Muktamar dari dan atas usul anggota Pimpinan Pusat terpilih," begitu bunyi pasal 11 ayat (3) Anggaran Dasar Muhammadiyah yang memberi peluang terjadinya "pergeseran".

Kesabaran menunggu hasil kepemimpinan juga diuji lewat forum 13 anggota PP terpilih. Apalagi Rapat penentuan ketua umum dan sekretaris umum periode 2010-2015 itu juga mundur dari jadwal semula, yang seharusnya pukul 10.00 selesai. Mereka bersidang sejak pukul 9.15 hingga 11.25 wib, di Gedung Rektorat UMY. "Penentuan ketua umum dilakukan dengan aklamasi, bukan voting," kata Rosyad Sholeh.

Sidang berlangsung lama, bukan karena deadlock. Melainkan setiap anggota PP Muhammadiyah diberi kesempatan untuk menyampaikan tausiah serta pembicaraan dari hati ke hati. Hasilnya, Din terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum, dan Agung Danarto sebagai sekretaris umum. Usai terpilih, Din Syamsuddin dan Agung Danarto langsung dimintakan pengesahan dalam Rapat Pleno Muktamar.

Seminggu setelah muktamar (16,7), tiga belas anggota PP terpilih terus melakukan rapat untuk membentuk struktur pimpinan pusat untuk periode 5 tahun mendatang. Setelah melalui rapat intensif, akhimya struktur kepemimpinan PP Muhammadiyah 2010-2015 terbentuk. Sebagaimana izin pasal 11 ayat 5 Anggaran Dasarnya, PP periode ini menambah 4 anggota yang diambil dari 39 nama yang diusullkan Tanwir. Keempatnya adalah Prof Dadang Kahmad sebagai ketua, Drs Marpuji Ali MSi (sekretaris), serta Prof Zamroni dan DR Anwar Abbas yang masing¬masing diamanahi sebagai bendahara.

Model demokrasi ala Muhammadiyah ini membuat pemerhati dari Kangwon National University Korea Selatan, Hyung-Jun Kim, terasa aneh. "Muhammadiyah menggunakan model demokrasi yang unik, setiap pengambilan keputusan selalu dimusyawarahkan. Meskipun terjadi perdebatan sengit, tetapi selalu menghindari jalan voting. Bahkan di tengah pertarungan argumentasi, adu kritik pedas pun bermunculan, namun tetap diwarnai canda dan tawa. Dan akhirnya banyak ditemukan nilai-nilai positif setelah perdebatan panjang," terang sosok yang meneliti Muhammadiyah sejak tahun 2000 tersebut.

Model demokrasi seperti inilah yang menjadikan Muhammadiyah mampu berkiprah hingga satu abad berselang. Kini, Persyarikatan benar-benar menunjukkan kedewasaannya dalam berorganisasi. Melaksanakan sidang-sidang berdasarkan tata tertib yang disepakati, sekaligus mendemonstrasikan kedewasaan dalam berdemokrasi. Memilih anggota PP, kemudian Ketua Umum PP sesuai prosedur, tahapan dan mekanisme baku. "Dan yang terpenting, muktamar ke-46 ini kebal dari intervensi," cerita anggota muktamar dari Jatim.

Perhelatan akbar lima tahunan itu bisa dibilang sukses. Upacara pembukaannya berlangsung spektakuler, dilengkapi ragam kegiatan pendukung yang juga semarak. Sidang-sidangnya berjalan lancar, tanpa hambatan berarti. Sukses terbesar tentunya, karena berhasil memilih pimpinan dengan smooth, tanpa gejolak yang berarti. Clear dan clean, begitulah kira-kira bahasa politiknya. [fifin, nafi', abidin, kholid]

No comments:

Post a Comment