Wednesday, September 15, 2010

Memformulasikan Pedoman Hisab

Awal bulan Juli, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 5 Tahun 2010 tentang pembenaran arah kiblat. Isi terpenting fatwa: Kiblat Muslim Indonesia adalah menghadap barat laut dengan kemiri ngan bervariasai sesuai posisi kawasan masing-masing. Kontan, fatwa itu menggegerkan publik. Padahal tiga bu lan sebelumnya, masalah ini adalah satu bagian dari 'Pedoman Hisab Muham madivah' yang diputuskan Munas Tarjih ke-27 di Malang, (1-4/4).

Arah kiblat bisa disebut sebagai salah satu masalah yang diperjuangkan KH Ahmad Dahlan. Bahkan, ketika pendiri Muhammadiyah ini membangun mushalla vang disesuaikan arah kiblat, bangunan itu dirobohkan oleh 'tokoh agama' setempat, Kanjeng Kyai Pengulu Cholil Kamaluddiningrat. Kejadian ini sempat membuat Dahlan ingin mening galkan Kauman, sebelum dirayu kakak iparnya, KH Saleh, dengan mendirikan mushalla baru. Memang bangunannya tidak langsung mengarah kiblat, tetapi di dalamnya diberi garis-garis shaf mengarah ke kiblat.

Kiblat secara terminologi berasal dari kata al-qiblah, artinya arah (al-ji hah). Kata ini merupakan kata fi'lah dari kata al-muqaabalah, sehingga kata ini punya arti 'keadaan menghadap'. Jadi, secara harfiah, kiblat punya pengertian arah ke mana orang menghadap. Karena itu. Ka'bah disebut sebagai kiblat karena ia menjadi arah yang kepadanya orang harus menghadap dalam mengerjakan shalat. "Penentuan arah kiblat pada hakikatnya adalah menentukan posisi Ka'bah dari suatu tempat di permukaan bumi, dan sebaliknya," begitu putusan Komisi V Munas Tarjih.

Untuk mengukur arah kiblat, se tidaknya ada 3 metode yang sekarang sering digunakan: memanfaatkan ba yang-bayang kiblat, memanfaatkan arah utara geografis, dan mengamati ketika matahari tepat berada di atas Ka'bah. Pada metode pertama dan kedua membutuhkan ahli untuk menghitung dan mengukurnya, karena keduanya mensyaratkan yang bersangkutan faham tentang titik koordinat (lintang clan bujur) serta hitung-hitungan yang rumit. "Metode ketiga dapat dilakukan setiap orang, dan merupakan cara paling sederhana dan bebas hambatan," papar putusan Munas Tarjih ke-27.

Dalam setiap tahun, matahari punya dua kali kesempatan berada di atas Ka'bah. Kesempatan itu datang pada setiap tanggal 28 Mei (27 Mei untuk tahun Kabisat) pukul 12.18 waktu Mak kah, dan tanggal 16 Juli (15 Juli untuk tahun Kabisat) pukul 12.17 waktu Mak kah. Jika dikonversi menjadi waktu Indonesia Barat (wib), dengan selisih 4 jam, maka matahari berada di atas Ka'bah pada pukul 16.18 wib dan 16.17 wib. Setiap tanggal itu, arah kiblat dapat dicek dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah.

Dalam praktiknya, tidak perlu lang kah yang rumit untuk menentukan arah kiblat berdasarkan jatuhnya bayangan benda yang disinari matahari yang saat itu tepat berada di atas Ka'bah. Pengamat cukup menggunakan tongkat atau benda lain sejenisnya. untuk dile takkan di tempat datar dan rata, yang memperoleh cahaya matahari. Cahaya matahari yang menyinari benda tersebut akan menghasilkan bayangan. "Arah bayangan ini merupakan arah kiblat," bunyi putusan Mejelis Tarjih dalam Pe doman Hisab Muhammadiyah.

Selain kiblat, masalah lain yang masih terkait dengan shalat, yang men jadi perdebatan hangar adalah waktu shalat Subuh. Tidak ada perdebatan ketika peserta membicarakan waktu nya: dimulai sejak fajar shadiq terbit, sampai matahari terbit. Fajar ini dalam kajian falak ilmi difahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi). Cahaya ini muncul di ufuk timur men jelang terbit matahari, yang posisinya antara minus 18 derajat atau minus 20 derajat banyak diperdebatkan warga Muslim Indonesia.

Jika yang digunakan adalah mi nus 18 derajat, maka waktu Subuh di Indonesia sekarang ini bisa dibilang terlalu cepat sekitar 10 menitan. Sebab, hampir di semua penjuru nusantara menggunakan minus 20 derajat. "Mu hammadiyah tetap mengggunakan ketinggian matahari minus 20 derajat sampai ditemukan hasil penelitian yang lebih komprehensif," jelas Drs Syamsul Arifin AR MSi, yang didaulat sebagai Ketua Komisi V.

Meski demikian, Komisi V juga tidak menutup mata terhadap pendapat sebagian Muslim yang berpegangan pada angka minus 18 derajat. Karena itu, Munas merekomendasikan agar Majelis Tarjih dan Tajdid PP Mu hammadiyah melakukan penelitian secara lebih mendalam tentang posisi matahari awal waktu salat Subuh di beberapa tempat strategis di wilayah Indonesia. "Kementerian Agama RI agar memfasilitasi penelitian secara lebih mendalam tentang posisi Ma tahari awal waktu shalat Subuh," papar Syamsul Arifin AR.

Penyempurnaan Hisab
Keputusan yang tidak kalah pen ting dari komisi 'Pedoman Hisab' adalah penyempurnaan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Dalam hisab ini, bulan baru qamariyah jika telah memenuhi tiga kriteria: telah terjadi ijtima', ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam, dan piringan bulan di atas ufuk (bulan baru telah wujud). "Ketiga kriteria ini penggunaannya secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus," tulis Pedo man Hisab Muhammadiyah.

Secara fundamental, sebenarnya tidak ada perbedaan dengan keputusan Munas Tarjih XXVI di Padang 2003. Hisab mempunyai fungsi dan kedu dukan yang sama dengan ru'yah, dan matla'-nya didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia). Yang membedakan hanyalah jika garis batas wujudul hilal pada awal bulan qamariah membelah wilayah Indonesia.

Dalam keputusan Munas XXVI, jika terjadi 'pembelahan' garis batas wujudul hilal, maka kewenangan menetapkan awal bulan diserahkan kepada kebijakan PP Muhammadiyah. Kondisi ini secara mudah bisa dilihat dari penetapan PP Muhammadiyahh 1 Syawal 1428 H, yang ditetapkan pada 12 Oktober 2007. Pada saat itu, sebagian daerah Indonesia di bagian timur, ketinggian hilal pada 11 Oktober 2007 masih di bawah ufuk sehingga hilal belum wujud. Sementara di sebagian Indonesia wilayah barat, ketinggian hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk. Berdasarkan prinsip kesatuan wilayah, daerah yang hilal-nya belum wujud mengikuti daerah yang sudah wujud.

Konsep wilayatul hukmi ini pula yang membuat hari raya di Indonesia sering tidak bersamaan. Sebab, wujudul hilal yang masih 'separo'tersebut tidak mungkin bisa dilihat kalangan yang berpedoman pada ru'yah. Namun, sejak Munas XXVII Malang 2010, perbedaan itu sangat mungkin mulai tereduksi. Se­bab, 'pembelahan' garis batas wujudul hilal lebih mengakomodir daerah yang hilal-nya belum wujud.

"Kriteria wujudul hilal yang diguna kan Muhammadiyah dengan syarat pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud) di seluruh Indonesia," jelas Syamsul Arifin AR. Artinya, jika hilal telah wujud di sebagian besar wilayah Indonesia sekalipun, keesokan harinya belum bisa ditetapkan sebagai bulan baru. Sebab, masih ada daerah yang ke tinggian hilalnya masih di bawah ufuk, sehingga syarat keseluruhan wilayah Indonesia belum terpenuhi.

Apakah keputusan baru tentang wi layatul hukmi ini benar-benar mampu membuat kedatangan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia akan sering bersamaan? Kita lihat saja.

No comments:

Post a Comment