Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Anggota Muhammadiyah dan Wakil Ketua MPR RI.
Muktamar Ke-46 Satu Abad Muhammadiyah telah usai. Muktamar yang menelan biaya dua puluh enam miliar rupiah dengan segala kemegahan dan hingar-bingamya itu juga telah mengesahkan program kerja Persyarikatan di abad kedua.
Muktamar yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Muhammadiyah pasca-Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dihadiri secara langsung oleh Presiden Republik Indonesia itu juga telah memilih Ketua Umum dan Anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang berjumlah 13, untuk periode 2010-2015.
Sistem pemilihan yang unik, rumit, dan berlapis-lapis merupakan wujud dari sistem kepemimpinan Muhammadiyah yang bersifat kolektif kolegial. Jika dalam organisasi lain, kepemimpinan kolektif hanyalah merupakan sifat dari sebuah sistem kerja dan pengambilan keputusan, di Muhammadiyah sistem kolektif kolegial dimanifestasikan dalam sistem pemilihan. Muktamar bukan hanya memilih seorang ketua umum, melainkan memilih seluruh anggota PP yang berjumlah 13 orang.
Walhasil, ke-13 orang tersebut adalah sama dan sejajar (equal), yaitu orang-orang yang memiliki legitimasi politik yang sangat kuat karena sama-sama dipilih secara langsung oleh muktamar secara one man one vote one value.
Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa 13 anggota PP tersebut adalah kader dan orang-orang terbaik Muhammadiyah par excellence! Setidaknya demikianlah pandangan para muktamarin yang berjumlah 2.300-an orang peserta dari unsur Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ortom itu.
Ketigabelas orang pimpinan pusat yang primes inter paris (ada juga yang mengatakan primes inter minus malum) ini merupakan inti dan jiwa Muhammadiyah.
Ketua Umum bukanlah penanggung jawab tunggal gerakan. Ketua Umum hanyalah figur yang 'ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah'. Kewajiban dan tanggung jawab ke-13 orang itu adalah sama dan sebangun. Jika salah, salah lah kesemuanya secara berjama'ah, dan jika benar, benarlah mereka secara bersama-sama. Jika kepemimpinan ini berhasil maka itu merupakan keberhasilan kolektif, dan jika gagal maka itu merupakan kegagalan bersama juga. Betapapun uniknya inilah hakikat dari kepemimpinan kolektif kolegial versi Muhammadiyah: sebuah sistem kolektif kolegial in optima forma.
Mandat untuk bekerja
Sayang tidak banyak yang sadar, bahkan mungkin juga ketiga belas orang terpilih itu, bahwa mereka pada sejatinya adalah pemegang mandat penuh muktamar. Sebagai mandataris muktamar sungguh tugas mereka sangatlah berat. Bukan hanya mandat untuk bekerja keras melaksanakan program-program kerja yang disahkan oleh muktamar, melainkan juga memenuhi ekspektasi anggota akan keberhasilan dan kebesaran Muhammadiyah di masa datang. Walhasil, pada sejatinya, gengsi, prestasi, dan reputasi Muhammadiyah untuk sebagian besar berada di pundak.
Jadi kata kunci bagi PP adalah bekerja. Mereka dipilih oleh muktamar untuk bekerja, bukan untuk menjadi 'dewan syuro'. Memang mereka kadang harus memberikan nasehat, tetapi mereka dipilih bukan untuk menjadi 'penasehat' Muhammadiyah.
Salah besar jika struktur organisasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah nantinya menempatkan mereka di atas majelis atau badan sehingga mereka terhindar dari pekerjaan dan hanya ongkang-ongkang seperti layaknya penasehat.
Mandat dari muktamar adalah jelas dan terang benderang: untuk bekerja memimpin gerakan sebagai tanfidziyah atau eksekutif. Ibarat perusahaan, PP adalah dewan direksi, bukan komisaris, apalagi pemegang saham. Dan apa yang disebut dengan gerakan Muhammadiyah adalah terang benderang pula. yaitu dakwah melalui tabligh, pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, pengkaderan, dan lainlainnya.
Dengan demikian konsekuensi dari itu semua adalah bahwa PP tidak bisa lagi mengurus organisasi secara samben atau paruh waktu. Rasanya tidaklah mungkin sebuah gerakan sebesar ini hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh yang bekerja paruh waktu, bahkan samben, dan apalagi berpinsip sak mlakune atau alon-alon waton kelakon.
Sebuah gerakan sebesar ini pastilah memprasyaratkan sebuah kepemimpinan yang kuat dan berdedikasi penuh waktu. Sebab, mereka harus melanjutkan kepemimpinan yang risau akan nasib dan masa depan Muhammadiyah sendiri.
Betapa banyaknya persoalan yang dihadapi Muhammadiyah yang harus menjadi kerisauan mereka. Secara teologis-doktrinal muncul fenomena maraknya gerakan-gerakan Islam kontemporer di tingkat lokal maupun nasional dengan segala ekses dan implikasi negatif yang menyertainya yang tidak jarang menyentuh eksistensi Muhammadiyah.
Jika mereka tidak cerdas, bisa saja terjadi ajaran-ajaran Muhammadiyah akan kehilangan alasan kehadiran (raison d'etre)-nya.
Dalam bidang kaderisasi Muhammadiyah juga mulai mengalami stagnasi. Aktivis dan pimpinan Muhammadiyah hanya dari itu ke itu saja. Bahkan jumlah anggotanya pun terus menerus mengalami penyusutan.
Demikian juga persoalan-persoalan yang terkait dengan amal-amal usaha yang mulai mengalami disorientasi. Ini semua menuntut kerja keras yang serius dari ke-13 orang anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang baru itu.
Jadilah Ketua Majelis/Badan
Ketigabelas orang itu secara bersama-sama akan membagi tugas secara adil dan merata. Di samping ada yang menjadi ketua umum, sekretaris umum, bendahara umum, maka yang lainnya menjadi ketua-ketua majelis atau badan.
Demikianlah yang terjadi pada masa lalu sampai dengan ketika periode terakhir kepemimpinan Pak AR Fachrudin menjadi ketua PP Muhammadiyah. Dulu Amien Rais, misalnya, disamping menjadi menjadi anggota PP Muhammadiyah (1985-1990), ia juga merangkap sebagai Ketua Majelis Tabligh. Dan itu yang betul.
Mulai periode 1990-1995, dengan dalih agar Pimpinan Pusat bisa berpikir lebih strategis dan tidak dibebani persoalan-persoalan teknis administratif, 13 Anggota Pimpinan Pusat tidak merangkap sebagai ketua majelis/badan. Ketua-ketua majelis/badan kemudian diambilkan dari luar 13 PP itu. Dan kenyataannya sistem ini tidak efektif dan efisien.
Akibatnya, Anggota PP 13 tidak jelas bidang kerja dan tanggung jawabnya, bahkan tidak pernah tune in dengan apa yang terjadi dan dilakukan majelis atau badan. Maka ke-13 Anggota PP-lah yang pertama-tama harus bekerja secara kongkret dengan terjun langsung sebagai ketua majelis atau badan.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini majelis atau badan menjadi entitas tersendiri di luar PP. Bahkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Majelis atau Badan adalah dan hanyalah pembantu pimpinan.
Akibatnya rapat-rapat pleno PP yang hanya diikuti oleh 13 orang anggota tersebut sering kali tidak nyambung dengan persoalan-persoalan yang dihadapi majelis atau lembaga. Hal semacam ini tidak akan terjadi jika 13 anggota PP sekaligus menjabat ketua-ketua majelis atau badan.
Memang berat melaksanakan mandat dan amanat kepemimpinan. Hal ini mestinya sudah disadari oleh mereka sejak menyatakan kesediaannya untuk menjadi calon PP. Janganlah menjadi pimpinan hanya karena semangat sesaat (obor blarak) atau sekedar rasa gemenyar ingin menjadi pimpinan.
Kepemimpinan adalah nobles obligte, dalam kedudukan mulia ada tanggung jawab. Dan tanggung jawab PP Muhammadiyah adalah bekerja. Bukankah mereka sendiri yang memang meminta pekerjaan tersebut? Maka wahai PP Muhammadiyah, bekerjalah. Dan kita sebagai anggota memberikan support-nya seraya mengucapkan selamat bekerja!
No comments:
Post a Comment