Saturday, December 11, 2010

dr H Mutadi: Pelopor Rumah Sakit Muhammadiyah

Puluhan Rumah sakit, Rumah Bersalin, Balai Pengobatan, dan poliklinik sebagai amal usaha Muhammadiyah (AUM) tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur. Yang patut dicatat, selain jumlah, berbagai amal usaha bidang kesehatan ini juga telah dilengkapi dengan berbagai teknologi kes­ehatan mutakhir. Tingkat pelayanan dan administrasi yang mumpuni juga menjadi standarisasi rumah sakit Muhammadiyah dalam melayani masyarakat. Tidak heran jika tidak sedikit rumah sakit Muham­madiyah di berbagai daerah bahkan dijadikan rumah sakit rujukan.

Jika dilihat dari embrio kelahiran­nya, jumlah dan prestasi AUMkes yang luar biasa itu, ternyata berawal dari satu poliklinik yang kecil. Seperti di Surabaya misalnya, 'kegagahan' AUMKes itu ternyata berawal dari sebuah klinik yang hanya dijaga oleh seorang dokter, satu bidan, dan satu perawat, tepatnya di JI KH. Mas Mansyur. "Mulai dari tempat itulah saya terpanggil untuk aktif dan mengembangkan Muhammadiyah lewat kesehatan," kenang dr Mutadi, sambil menerawang pengalaman hidupnya.

Lahir dari keluarga bukan dokter dan tidak berkultur Muhammadiyah di Tulungagung pada 74 tahun yang lalu, Mutadi muda lulus dari Fakultas Kedok­teran Unair pada tahun 1965. 'Perkenal­annya' dengan Muhammadiyah terjadi ketika dia berangkat kuliah dari kos-kosannya. Dengan bersepada angin, dia selalu melewati klinik kecil milik Muhammadiyah di Jl KH Mas Mansyur itu yang temyata dokter penjaganya adalah kakak seniornya di Fakultas Kedokterar Unair, dr Suherman.

Setiap kali melewati poliklinik itu Mutadi sangat tertarik dan terinspirasi oleh dokter seniornya itu yang menung­gui dan menjaga dengan istiqamah sebuah klinik kecil. Pada akhirnya, dia tahu bahwa itulah salah satu AUMkes di Jawa Timur yang saat itu masih be­lum membludak seperti sekarang ini. Mulailah Mutadi berkenalan dengat Muhammadiyah lewat seniornya itu yang tanpa canggung diakuinya sebagai teman sekaligus inspirator luar biasa.

Pertemuannya dengan Suherman ini yang mendorong Mutadi mulai aktif ikut berbagai pengajian Muhammadiyah ter­dekat. Tepatnya di ranting Dinoyo, karena saat itu dia masih berdinas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Rumah sakit Angkatan Laut (RSAL) Surabaya. Semangatnva untuk mengabdi di Muhammadiyah terus meng­gelora hingga is bertekad menyuguhkan kompetensinya secara total pada organ­isasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut. "Dari situ, saya berkeinginan kuat untuk mengabdi di amal usaha kesehatan Muhammadiyah," ingatnya.

Dalam perjalanan berikutnya. Mutadi mendapat bantuan dari seorang dokter yang bertugas di Departemen Kesehatan untuk menugaskan dirinya sebagai dokter di fasilitas kesehatan milik Muhammadi­yah. Keinginannya memang disetujui oleh departemen yang mengurusi kesehatan warga Indonesia itu. tetapi dengan resiko yang tidak ringan. Dia memang diperbolehkan menjadi dokter di AUM, tetapi negara tidak menanggung gajinya dan dis­erahkan kepada Muhammadiyah sebagai induk organisasi yang menaunginya.

Pada masa itu, penguasa Orde Baru memang melarang seorang PNS aktif dalam organisasi apapun, sekalipun or­ganisasi keagamaan. Tak pelak. Mutadi harus membuat pilihan: tetap aktif seba­gai PNS, atau menjadi aktivis Muham­madiyah dengan melepaskan status PNS yang disandangnya. Ternyata, pilihannya jatuh pada Muhammadiyah. "Padahal saat itu Muhammadiyah tidak mungkin memperlakukan para dokternya seperti saat ini," tambah Mutadi.

Dengan keinginan kuatnya itulah Mutadi menghibahkan sebagian besar waktunya untuk Muhammadiyah. Sejarah Muhammadiyah mencatat, dia bersama Suherman adalah dua sekawan yang merintis dan mengembangkan Klinik Kes­ehatan Khadijah di Sepanjang. Dari yang awalnya sederhana, kini telah berkembang pesat menjadi Rumah Sakit Siti Khodijah dan menjadi salah satu rujukan penting rumah sakit di Jatim. "Meski demikian. saya juga harus membuka klinik pribadi di kontrakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga," terang Mutadi.

Tidak hanya itu, Mutadi, tentunya den­gan seniomya, Suherman, menyisir berbagai daerah di Jawa Timur untuk mengembang­kan rumah sakit Muhammadiyah. Dalam setiap perjalanan itu, dia mengajak para dokter yang bukan Muhammadiyah dan hanya membantu berpraktik di klinik-klinik milik Muhammadiyah di daerah, untuk menjadi dokter Muhammadiyah. Duet keduanya juga dikenal sebagai dua sekawan yang seperti tak kenal lelah untuk mengem­bangkan klinik-klinik menjadi rumah sakit Muhammadiyah.

Ketika Suherman - saat itu menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya - meninggal dunia pada tahun 1983, Mutadi menggantikannya sampai tahun 1997. Di tangan dingin sang Rek­tor itulah kampus UM Surabaya, yang oleh rektor sebelumnya telah dipindah dari Gadung dan Pucang ke Sutorejo, mulai berbenah. Di areal baru itu mulai dibangun dan dikembangkan menjadi berbagai jurusan bidang kesehatan, se­hingga berkembang sampai saat ini.

Sosok pemimpin yang satu ini me­mulai perjuangannya di Muhammadiyah sebagai ketua ranting Dinoyo, kemudian menjadi ketua cabang Muhammadiyah Wonokromo, dan selanjutnya langsung masuk jajaran pimpinan Wilayah Mu­hammadiyah Jawa Timur sebagai Wakil Ketua Majelis PKU, tanpa pernah menjadi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sura­baya. Lompatan dari Pimpinan Cabang menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadi­yah Jatim inilah yang sampai sekarang menjadi salah satu keresahannya dalam menatap Muhammadiyah. "Kepemimpi­nan berjenjang dan kaderisasi struktural sangatlah penting bagi Muhammadiyah," analisanya tentang kaderisasi.

"Kaderisasi dalam Muhammadiyah selayaknya diperhatikan betul bagi kepentingan Muhammadiyah di masa depan. Menjaga kapabilitas, kredi­bilitas, militansi, dan keikhlasan kepada organisasi ini sebagai sa­rana ibadah merupakan hal utama dan beraktivitas di Muhammadi­yah," tambahnya.

Pemikirannya tentang kaderisasi berjenjang itu semakin memuncak seiring dengan lahirnya era reformasi. Sebab, ke­tika organisasi yang dicintainya ini membuat partai politik 'bayangan' Muhammadiyah, ternyata Muham­madiyah menjadi salah satu sasaran kepentingan politik. Banyak orang dengan berbagai kepentingan politis tiba-tiba aktif di Muhammadiyah yang terkadang tidak selamanya membawa dampak positif.

Dengan merendah, Mutadi mencon­tohkan pemahaman keagamaan dirinya yang minim dibanding pimpinan wilayah Muhammadiyah sezamannya. Dia pemah menemui semisal paket pengetahuan agama apa saja yang harus dihabiskan ka­der setingkat ranting, cabang, daerah, atau wilayah sehingga dapat menjadi pimpinan di Muhammadiyah. "Pentingnya paket-paket pemahaman agama di setiap level kepemimpinan itu ibarat karir tentara yang memiliki jenjang kepangkatan, atau jenjang karir dalam rumah sakit," tegas Mutadi.

Meski demikian, Mutadi mengakui bah­wa pola kaderisasi dan jenjang kepemimpi­nan yang seperti itu jika dilakukan secara ketat akan membuat Muhammadiyah menjadi organisasi yang kurang terbuka dan eksklusif terhadap kapasitas dan potensi seseorang. "Artinya, pemikiran saya tentang kaderisasi dan jenjang kepemimpinan ini tentunya tetap mengandung kekurangan dan kelebihan," katanya.

Pada masa 'pensiun', pengalamannya sebagai rektor UM Surabaya dan Koor­dinator Bidang Sosial Ekonomi - yang di antaranya membidangi Kesehatan - PWM Jatim memberi pengetahuan lebih. Pada usia udzurnya, dia kini memiliki rumah sendiri dan masih juga berpraktik mulai sore sampai malam hari. Tangan dingin, prestasi, dan pengalaman tidak merubah sikap kebersa­hajannya ketika menyapa para pegawainya yang sekalipun hanya juru parkir. Setidaknya itulah keseharian Mutadi di rumah sakit yang didirikannya, Rumah Sakit Wiyung Sejahtera Surabaya.

No comments:

Post a Comment