Wednesday, December 8, 2010

Emas, Mata Uang Anti Eksploitasi

Judul buku:
Perampok Bangsa-Bangsa
Penulis:
Ahamed Kameel Mydin Meera
 Penerbit:
Mizan, Bandung
Tebal:
  xliii + 287 halaman

Dalam perspektif kritis, yang tidak akan pemah diajarkan di Fakultas Ekonomi pada umumnya, akar persoalan kemiskinan masyarakat Indonesia sejatinya disebabkan oleh tiga pilar pokok: uang fiat (alat ukur yang nilainya adalah ilusi karena tidak memiliki nilai instrinsik), bunga, dan cadangan minimum (fractional reserve requirement). Melalui rekayasa akuntansi, para bankir dengan serta-merta, setiap detik, hampir tanpa batas, dapat menciptakan uang terus-menerus dari ketiadaan, hanya dengan membubuhkan bit-bit komputer. Instrumen praktisnya adalah melalui mekanisme hutang-piutang, melalui aneka kredit: kredit rumah, perabotan rumah tangga, kendaraan dan sebagainya.

Marilah kita perhatikan ke­nyataan di sekeliling kita. Beberapa tahun yang lalu setiap keluarga relatif mudah dapat memiliki ru­mah, terlebih lagi di daerah-daerah pinggiran dan atau desa. Namun, bagaimana sekarang ketika banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh para bankir melalui pengembang­pengembang? Ironisnya, dengan dalih menolong masyarakat untuk mendapat rumah yang terjangkau, para bankir justru menciptakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Semula KPR ditujukan untuk rumah tipe 70, kemudian diturunkan untuk tipe 60, lantas tipe 45, tipe 36, dan kini semakin kecil lagi. tipe 21. Itu pun hanya bisa dibeli oleh sedikit orang karena harganya semakin mahal.

Lihat pula biaya kesehatan dan pendidikan. Lagi-lagi dengan dalih membantu masvarakat "meringankan", para rentenir menciptakan berbagai bentuk kredit, asuransi, tunjangan dan sebagainya, yang se­muanya berbasis hutang berbunga. Lagi-lagi kenyataan biaya kesehatan dan pendidikan justru semakin tidak terjangkau. Sebab, selain membayar ongkos jasa pendidikan dan kesehatan itu sendiri, masih harus ditambah dengan biaya bunganya. Bunga berbunga, berlapis-lapis. yang merembet ke semua aspek kehidupan.

Penderitaan demi penderitaan yang dialami oleh masyarakat kita ini merupakan kelanjutan dari gurita hutang negara kepada IMF, Bank Dunia. Departemen Keuangan AS dan rentenir internasional lainnya pada 1989-an. Karena terus menggunung, pada gilirannya hutang negara itu memberi legitimasi bagi pemerintah untuk memajaki rakyat. Meka­nisme ini merupakan modus yang inheren di dalam negara konstitusional untuk memastikan setiap warga negara sebagai pembayar pajak dan pembayar hutang negara. APBN semata-mata menjadi wadah penyaluran utang para bankir ini. dengan rakyat yang dipaksa membayarnya melalui pajak (hal. xv).

Karena itu, sadarkah kita bahwa sesungguhnya telah secara sistematis sejak adanya Konferensi Meja Bundar - ketika pemer­intah Indonesia membarter 'kedaulatan bangsa' dengan pengam­bil-alihan hutang Hindia Belanda - kekayaan bangsa ini dijarah dengan tidak manusiawi yang dilakukan melalui kebijakan global, yang dikenal dengan 'Konsensus Washington'.

Pada akhimya, apa solusi yang tepat untuk keluar dari jeratan gurita bankir kapitalisme di atas? Sesungguhnya Islam telah menawarkan solusi sangat mujarab, yaitu kembali melakukan segala bentuk transaksi dalam bentuk dan standar 'dinar dan 'dirham'. Agar tidak dinilai sebagai argumentasi yang sektarianik, penulis buku ini memaparkan dengan sangat keunggulan dinar dan dirham sebagai alat tukar dibanding uang fiat secara akademis, bukan berdasarkan dalil-dalil fikih.

Buku Perampok Bangsa-Bangsa : Men­gapa Emas Harus Jadi Mata Uang Internasional? ini dengan sangat jelas memberikan argumentasi akademis dan ilmiah. Buku ini tersusun dalam 2 (dua) bagian. Bagian pertama memaparkan berbagai problem yang timbul akibat dari penggunaan transaksi konvensional dengan menggunakan nilai mata uang kertas. Sedangkan bagian kedua, dengan berbagai argumentasi ilmiah, penulis mengajak pembaca untuk kembali kepada dinar dan dirham sebaga alat tukar. Harapan besar penulis ialah secara bertahap. dinar dan dirham dapat menjadi alat pembayaran bilateral dan kemudian multilateral dalam perdagangan antarbangsa.

Juga menarik dicermati, menurut Prof Kameel, kehadiran perbankan syariah tak ubahnya seperti Kuda Troya yang disusupkan di kalangan umat Islam. Mungkin dengar istilah lain ada bank syariah yang murni dan bank syariah yang tidak murni. Karena rata-rata bank syariah yang ada saat ini justru banyak yang bertentangan dengan syariah. Menurut Prof Kameel, "alih-alih menjadi penyedia solusi, bank-bank Islam juga ber­tanggungjawab terhadap masalah sosial-ekonomi yang terjadi karena sistem keuangan fiat " (uraian lengkap ada pada bab 4 yang berjudul "Bank-Bank Islam dan Sistem Fiat moneter").

Akhirnya, marilah kita simak komentar gembira dari cendekiawan muslim kita Prof Dawam Rahardjo terhadap buku ini. "Sudah saatnya kita memikirkan sistem moneter yang nyata dan lebih adil seperti pesan buku ini. "

No comments:

Post a Comment