Thursday, December 2, 2010

Menghitung Biaya Awal Haji

Karut Marut Haji

Anda pernah menonton film Emak Ingin Naik Haji karya sutradara muda Aditya Gumay? Jika pernah, tentu Anda bisa melihat betapa ibadah haji membutuhkan 'perjuangan' tersendiri. Kesulitan Emak dalam fakta keseharian sesungguhnya belum seberapa, karena syarat berhaji Muslim Indonesia lumayan 'ketat'. Selain syarat istitha'ah (kemampuan) secara finansial, fisik, serta mental, masih ada tafsir lainnya: kesempatan yang makin terbatas.

Wahyu Anshori, 56 tahun, siang itu sedang antre di sebuah bank di kawasan Surabaya Selatan. Dengan sabar, dia menunggu nomor antrean yang didapatnya dari petugas security bank untuk dipanggil oleh teller. "Saya akan menyetor uang muka untuk naik haji," katanya kepada MATAN, akhir bulan lalu. Setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) regular yang disetor adalah 25 juta, naik 5 juta dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara untuk haji khusus atau ONH plus, setoran awal naik menjadi US $ 4000 dari US $ 3000. Jika dirupiah­kan dengan kurs I dollar AS sebanding dengan 9500 rupiah, maka setoran awal adalah 38 juta rupiah. "Ini untuk calon jamaah yang baru mendaftar. Untuk calon jamaah yang sudah membayar setoran awal 20 juta, ia tetap. Tidak perlu menambah setoran awalnya," kata Menteri Agama, Suryadharma Ali, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama (Kemenag), awal 2010 silam.

Urusan Wahyu tidak selesai hanya dengan menyetor UM (uang muka) lantas bergegas ke Mekkah untuk haji. Selain masih punya kewajiban untuk melunasi semua BPIH, dia juga harus bersabar menunggu waktu delapan tahun untuk bisa berhaji. Sebab. kuota 200-an ribu jamaah haji Indonesia perta­hun selama tujuh tahun mendatang, 2011-2017 telah penuh. Artinya, selain harus melunasi BPIH pada tahun 2018 mendatang, dia juga berdoa agar bisa melewati usia 64 tahun agar masuk se­bagai jamaah haji.

Kebijakan kenaikan setoran awal yang berlaku sejak Mei itu, konon dilan­dasi alasan membludaknya pen­daftar haji. "Langkah ini bertujuan untuk mem­perlambat laju pendaf­taran haji,'" kata Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag. Slamet Riyanto. Selama ini, banyaknya jumlah pendaftar haji mem­buat rentang waktu dari pendaftaran hingga berangkat haji cukup bervariatif. Kemenag menilai, kare­na setoran awal sedikit, banyak orang yang menyetor­kan setoran awal ke bank.

Meski alasan kenaikan ini ada­lah untuk menge­rem kenaikan daftar tunggu yang semakin me­numpuk, tetapi tidak sedikit masyarakat yang justru mencibirnya. Karena dengan menaikkan setoran untuk mendapatkan porsi kursi, kepastian ma­syarakat untuk bisa menjalankan ibadah haji sulit dinilai akan semakin pendek. "Yang terjadi, uang setoran awal BPIH semakin banyak, dan semakin lama mengendap di bank. Terus bunganya ke mana ya?" begitu rekaan H. Bisri, pemilik warung kopi di desa. Sedagaran, kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, di hadapan para petambak yang sedang ngopi di warungnya.

Sebagai ilustrasi. mari kita mencoba menghitung besarnya akumulasi uang setoran awal BPIH itu, tentunya juga pengembangannya (bunga). Untuk mempermudah perhitungan, jumlah jamaah haji regular pertahun dihitung 194 ribu dari total kuota 210-an ribu jamaah. Jika calon jamaah haji (CJH) yang membayar setoran awal BPIH Rp 20 juta dengan masa tunggu 7 tahun (CJH tahun 2011-2017), maka dana yang terkumpul Rp 27,16 triliun. Jika dana ini ditabung dengan pendapatan hasil (bunga) 5 persen pertahun. maka BPIH mendapat tambahan (bunga) Rp 1,358 triliun pertahun. Jika setoran awal menjadi 25 juta, maka tinggal dihitung berapa dana yang bisa dikumpulkan dari jamaah.

Sementara jika dihitung dalam ben­tuk satuan, setoran awal CJH juga telah berkembang cepat karena Kemenag selama ini menyimpannya dalam ben­tuk giro, deposito, dan sukuk. Seorang jamaah yang menyetor Rp 25 juta pads 2018 dan harus menunggu selama 8 tahun, maka 'nilai' uangnya pada tahun 2018 tidak mungkin tetap Rp 25 juta. Jika setoran awal itu disimpan di bank dalam bentuk giro, maka Rp 25 juta akan menjadi Rp 31,669 juta dengan asumsi bunga rata-rata 3 persen per tahun. Jika disimpan dalam bentuk deposito, maka nilai uangnya menjadi Rp 39,846 juta dengan rate 6 persen per tahun). Semen­tara jika disimpan dalam sukuk, maka nilai uangnya akan menjadi Rp 46,273 juta dengan rate 8 persen per tahun.

Dalam catatan Kemenag hingga akhir April lalu misalnya, total dana setoran awal haji yang dikelola pemerin­tah mencapai Rp 22 triliun lebih. "Dari setoran awal itu ada bunganya, tapi kita menyebutnya dana optimalisasi. Dana ini diprediksi sampai akhir tahun ini mencapai Rp 1 triliun lebih," kata Dirjen Penyelenggaraan lbadah Haji dan Umrah, Slamet Riyanto. Slamet menyebutkan, bunga setoran awal haji diestimasi dari penempatan dana setoran awal haji pada instrumen deposito bank dan surat berharga negara seperti surat utang negara dan surat berharga syariah negara (SBSN).

Menurut Slamet, selu­ruh bunga setoran awal haji itu akan digunakan untuk ke­pentingan biaya tak langsung penyelenggaraan ibadah haji bagi jamaah. Di antaranva adalah untuk membiayai biaya operasional yang dulu dikenakan ke jamaah sebesar Rp 500 ribu. Dana juga akan digu­nakan untuk mene­kan biaya pembuatan paspor haji sehingga jamaah tidak perlu membayar mahal. "Dana optimalisasi haji ini akan digunakan untuk indirect cost," katanya.

Begitu banyaknya dana BPIH yang dikelola Kemenag ini sehingga wajar jika mendapat sorotan masyarakat. Seperti dalam BPIH 2010 yang ditetapkan setelah 23 pertemuan antara Komisi VIII DPR RI dan pemerintah, akhimya sepakat men­etapkan BPIH adalah rata-rata US$ 3.342. Jumlah ini terdiri dari biaya penerbangan ke Arab Saudi yang rata-rata mencapai US$ 1.720, biaya pelayanan umum untuk Kerajaan Arab Saudi sebesar US$ 277, biaya pemondokan di Mekkah sebesar 2.850 riyal Saudi, biaya pemondokan di Madinah 600 riyal Saudi, dan biaya hidup sebesar US$ 405.

Oleh Kemenag, BPIH tahun 2010 itu diklaim turun sebesar US$ 80 dari tahun 2009 yang senilal US$ 3.442. Dikatakan, penurunan sebesar US$ 80 disebabkan adanya biaya-biaya yang dibebankan pada dana optimalisasi setoran awal BPIH. Komponen tersebut adalah sewa hotel transit Jeddah, biaya selisih distribusi pemondokan di Mekkah, sewa rumah cadangan, konsumsi masa kedatangan dan kepulangan di bandara, konsumsi selama di Armina, pelayanan bongkar muat barang dan safeguarding.

Tidak Turun?
Di ujung lain, klaim penurunan BPIH 2010 dinilai Indonesia Corruption Watch (ICW) penuh dengan kebohongan publik. Menurut Koordinator Monitor­ing Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, BPIH itu hanya menghitung komponen direct cost atau total biaya pelunasan. Sementara komponen indirect cost yang berasal dari jasa bunga tabungan haji (uang jamaah) tidak 'dikembalikan' kepada jamaah. Padahal menurut ICW, dana bunga tabungan jamaah yang digu­nakan mencapai Rp 1,051 triliun.
"Berdasarkan kesepakatan Kemenag dan Komisi VIII DPR, total BPIH yang ditanggung per jamaah sesungguhnya adalah US S 3.912,3," papar Ade Irawan. Jumlah itu terdiri biaya direct cost US$ 3.342 dan indirect cost sebesar US S 507,3. "Kesepakatan Kemenag dan Komisi VII DPR untuk BPIH tahun 2010/1431 H rerata perjamaah sebesar 3.912,3 dollar AS adalah sangat kemahalan dan merugikan jamaah," tambah Ade.

Dalam hitungan ICW, keseluruhan biaya haji (direct dan indirect cost) yang ditanggung per jamaah seharusnya adalah US$ 3.585,9 (1 dollar AS = 9.500 rupiah dan 1 dollar AS = 3,745 riyal). Indikator biaya ini diklaim sudah memperhitungkan jumlah jamaah regular 194.000 orang, harga rerata minyak mentah pada saat musim haji US$ 80 bbls, konsumsi (Armina 275 riyal dan transit di Jeddah 8 riyal), pemondokan (Makkah 3.000 riyal dan Madinah 600 riyal), serta living cost sebanyak US$ 400 atau 1.500 riyal.

"Jika hasil jasa bunga setoran awal sebe­sar Rp 1,051 triliun yang setara 110.647.546 dollar AS digunakan sebagai tambahan BPIH, maka jumlah BPIH (direct cost) yang dibayar oleh jamaah menjadi 3.015,6 dollar AS," tambah Ade yang mengurangi total BPIH versi ICW sebesar US$ 3.585,9 dengan nilai bunga US S 570,3.

Sementara menurut koordinator Divisi Pusat Data dan Analisis ICW. Firdaus Ilyas, potensi korupsi dalam pengelolaan ibadah haji makin luas jika dibandingkan dengan sebelumnya. Korupsi itu tak hanya terjadi pada dana abadi umat (DAU) dan biaya penyeleng­garaan ibadah haji (BPIH), melainkan juga di setoran bunga jamaah haji. Mo­dus 'penyiasatan' uang jamaah haji di antaranya dengan mark-up satuan biaya pada saat perencanaan dan penyusunan BPIH, dan pada saat pelaporan realisasi BPIH (laporan keuangan). Pelaporan dan pemeriksaan oleh Badan Perneriksa Keuangan (BPK) sampai sekarang han­ya sebatas penyajian laporan keuangan BPIH. "BPK belum pernah melakukan audit investigasi terhadap realisasi BPIH pada Kemenag," tambahnya.

Modus lainnya adalah markup jumlah komponen biaya BPIH yang ditanggung oleh jamaah. yang salah satunya memper­banyak komponen biaya tidak langsung (indirect cost). "Dengan semakin besarnya nilai jasa bunga tabungan. deposito, giro dan SBSN dari setoran awal jamaah, maka semakin banyak dana yang bisa 'disiasati'," kata Firdaus.

Selanjutnya, masih menurut Firdaus, terjadi anggaran ganda (double budget­ing), bahkan triple budgeting. Sebab, terdapat anggaran kegiatan yang sebe­narnya sudah ditanggung oleh APBN dan jugs APBD, tetapi masih juga di­ambilkan dari uang setoran jamaah. Ini biasanya untuk pos belanja operasional, pemeliharaan serta honor tugas rutin Kemenag dari pusat sampai daerah.

Menurut Firdaus. dalam usulan BPIH oleh Kemenag kepada DPR, biaya tidak langsung yang akan digunakan untuk kepentingan petugas haji senilai Rp 859.4 miliar. Alokasinya. untuk biaya penerbangan petugas Rp 16,6 miliar, pelayanan petugas Rp 5.1 miliar, biaya operasional petugas di Arab Saudi Rp 355,8 miliar, biaya opera­sional dalam negeri Rp 4775,5 miliar, serta petugas keamanan Rp 4,2 miliar.

Dalam komponen biaya tak langsung, ada sejumlah kegiatan yang tidak jelas. Diantaranya untuk pembentukan citra sebesar Rp 12,5 miliar, honor petugas haji Rp 43,7 miliar, media centre Rp 2,3 miliar, jasa konsultan dan pengacara Rp 11.5 mil­iar, pelatihan pelatih (TOT) untuk petugas Kantor Urusan Agama Rp 2,5 miliar, serta seragam petugas Rp 600 juta. "Semua biaya tidak langsung ini ditanggung oleh semua calon jamaah haji melalui bunga dari setoran awal." jelas Firdaus.

"Penggunaan uang calon jamaah untuk kepentingan pegawai Kemenag bertentangan dengan UU Penyeleng­garaan Ibadah Haji," terang dia. Dalam pasal 11 ayat 4 UU Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disebutkan, Biaya Operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan petugas operasional pusat dan daerah dibebankan pada Anggaran Pendapa­tan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Sementara Kemenag membantah tudingan ICW bahwa telah terjadi 'koru­psi' dalam penyelenggaraan Ibadah haji. Menurut Sekjen Ditjen Haji dan Umrah Kemenag, Abdul Ghafur Djawahir, ICW menggunakan cara penghitungan biaya haji yang berbeda dengan Kemenag. "Kami menghitung dari harga kontrak, bukan dari selisih harga tertinggi dan ter­endah tahun tersebut," kata Djawahir.
Dia mencontohkan penghitungan biaya penerbangan yang memang bukan berdasarkan pada perhitungan harga avtur terendah tahun ini sebesar US$ 70 ribu per barel. Melainkan pada harga kontrak yang disepakati sebesar US$ 90 ribu per barel. Kontrak tersebut dibuat saat harga avtur berada di kisaran US $ 145 ribu per barel. "Jadi ini hanya masalah perbedaan cara menghitung saja," ujarnya. Terkait den­gan dugaan penggelembungan sejumlah komponen haji lainnya, Djawahir men­gatakan Departemen masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Kami belum tahu, sebab audit BPK belum keluar."

Melihat besarnya uang yang disetor para calon jamaah haji, adalah wajar jika pengelolaan dana ini dibuka seluas-luasnya untuk diketahui publik. Apalagi, pada awal Mei lalu, Komisi Pemberan­tasan Korupsi (KPK) telah menyam­paikan temuan mengenal 48 titik rentan korupsi dalam sistem penyelenggaraan haji. Yakni pada aspek regulasi, kelem­bagaan, tata laksana. dan manajemen sumber daya penyelenggara haji.

Biar semua yang berhaji maupun penyelenggaranya sama-sama merasa tenang di hadapan manusia maupun Allah. Bukankah begitu?

No comments:

Post a Comment