Ongkos Naik Haji (ONH) di Indonesia masih tergolong amat mahal. Persoalan ini, sejak Orde Baru sampai sekarang. masih tetap, menjadi perbincangan banyak pihak. Sejumlah pihak, tidak kurang dari ICW (Indonesia Corruption Watch) menyorot tajam berbagai pos pembiayaan haji yang harus ditanggung jamaah yang kemudian diketahui tak jelas juntrungannya. Belum lagi ditambah adanya waiting list yang sampai tujuh tahun. Tentu setoran awal
yang mencapai Rp 25 juta juta per orang dan disimpan di bank, muncul bunga yang tak kepalang banyaknya.
Di sisi lain, penyelenggara haji pemerintah Indonesia yang dikuasakan kepada Kementerian Agama, tak juga beres dalam melayani para jamaah. Kekurangan demi kekurangan terus saja terjadi, dari tahun ke tahun. Mulai ketika mendaftar di kantor Kementerian Agama Kabupaten yang banyak pungutan tak jelas, sampai pelayanan ketika di Arab Saudi, seperti soal makanan, transportasi, dan tempat tinggal. Padahal, kekurangan-kekurangan itu sejatinya secara rasional bisa ditanggulangi. Munculnya banyak KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) yang sekarang semakin menjamur, sejatinya tak lepas dari ketidakberesan penyelenggara haji. KBIH-KBIH itu sampai harus mengantar para jamaahnya ke Tanah Suci karena para petugas haji dari Kementerian Agama tak mampu melayani kepentingan-kepentingan pokok para jamaah. Dan tentu. ketika jamaah ikut KBIH harus mengeluarkan biaya lagi.
Celakanya, apapun kekurangan pelayanan penyelenggara haji Indonesia, para jamaah tak berani rnengoreksi, apalagi memprotes. Sebab, sudah ada keyakinan bagi jamaah - yang entah dari mana sumbernya - bahwa selama haji tidak boleh mengeluh, mengkritisi, memprotes semua kekurangan yang terjadi. Mereka berkeyakinan bahwa segala bentuk kekurangan itu adalah bagian dari ujian yang harus dihadapi dengan tabah dan sabar. Para jamaah tidak berani memilah berbagai kekurangan akibat ketidaksengajaan, atau kesengajaan yang dilatari perilaku tak terpuji dari penyelenggara haji. Meng-kritisi atau memprotes bisa mengancam predikat mabrur.
Rakyat yang menjadi jamaah haji memang selalu di posisi lemah. Pemerintahan - yang di dalamnya ada wakil rakyat - tak berpihak pada jamaah secara sungguh-sungguh. Itu tercermin dalam sejumlah produk regulasi yang banyak celah terjadi kecurangan. Dan, berbagai argumen dari penyelenggara haji secara piawai dan canggih selalu dilontar kepada jamaah, ketika terjadi ketidakberesan.
Padahal, kalau mau sungguh-sungguh menata penyelenggaraan haji di negeri yang mayoritas Muslim ini tidak terlalu sulit. Yang paling pokok adalah keinginan kuat yang baik (political will) dari pemerintah, terlebih Kementerian Agama, untuk menata secara baik. Bahwa jabatan Menteri Agama, maupun jabatan-jabatan lain merupakan amanat rakyat, yang diharapkan berfungsi untuk menata rakyat ke arah kesejahteraan, kemaslahatan, kebaikan, dan bukan arena pertontonan kekuasaan dan kekayaan.
Itu sebabnya, Kementerian Agama bisa menguji ulang semua personal di jajarannya yang terlibat langsung maupun tidak dalam urusan haji. Sebagai Kementerian yang membidanai agama, tentu rasa malu atas perilaku menyimpang lebih bisa menjadi pengendali diri. Apalagi ketika menyangkut peribadatan mahdlah.
Pemprioritasan keberangkatan haji bagi yang belum pernah haji juga perlu dipertegas. Sementara bagi yang sudah berhaji, harus ikhlas menyilakan saudara-saudaranya sesama Muslim untuk didahulukan. Dalam konteks ini juga perlu petugas berbagai lini untuk berlaku jujur.
Perlu ada penyadaran yang sungguh-sungguh kepada penyelenggara haji bahwa calon jamaah haji (CJH) bukan serta merta orang kaya. Tidak sedikit CJH yang menabung sampai bertahun-tahun. Mereka ada yang menjadi buruh tani, pembantu rumah tangga, dan rakyat desa yang dalam kesehariannya memangkas berbagai pengeluaran, termasuk untuk makan, demi menjalankan rukun Islam kelima itu. Dan, betapa tega orang yang 'memeras' saudaranya yang hidupnya pas-pasan dan hendak beribadah.
No comments:
Post a Comment