Friday, December 3, 2010

Mimpi Pelayanan Prima

Karut Marut Haji

Pada suatu Ahad petang, seorang pejabat provinsi menyambut jamaah haji yang baru datang dari Mekkah. Lazimnya pejabat, dia diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan di hadapan para tamu Allah swt tersebut. Dalam kesempatan itulah dia meminta jamaah haji agar tidak menceritakan pengalaman buruk selama menjalankan ibadah haji di tanah suci pada tahun ini. "Saya meminta kepada jamaah tidak menceritakan pengalaman buruk selama menjalankan ibadah haji di tanah suci. Biarlah itu menjadi pengalaman masing-masing. Mari kita syukuri fasilitas yang diberikan," ujarnya.

Sabar dan tidak mengeluh! Dua kata itu yang ser­ingkali menjadi 'Jurus jitu' Kementerian Agama (Kemenag) ketika menghadapi kekurangan dalam penyelenggaraan haji. Setiap kali ada kekurangan dalam proses penyelenggaraan haji, menurut dia, para jamaah haji diminta untuk sabar dan tidak mengeluh agar menjadi haji mabrur. "Kalau mengeluh dan protes nanti hajinya tidak mabrur," ujar Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo.

Sudaryatmo mengaku tidak tabu apakah ini argumen keagamaan atau untuk menutup-nutupi kekurangan yang dilakukan pihak penyelenggara, Kemenag. Yang jelas. berbeda dengan ragam kasus lain, YLKI jarang sekali menerima aduan dalam penyelenggaraan haji. Meski, dalam faktanya ada saja keterlambatan atau delay pesawat, pemondokan yang kuram mumpuni, serta ragam masalah lain.

Menurut Sudaryatmo, faktor psikologis 'kesabaran' itu mungkin salah satu kendala perbaikan penyelenggaraan haji. "Perbaikan penyelenggaraan haji itu terbentur kendala-kendala psikologis karena pembimbing dari Kemenag selalu menggaris-bawahi kata-kata sabar," tambahnya. Sebab, jika seseorang sudah berniat akan berangkat haji, mereka akan me­masrahkan segenap batinnya kepada Sang Pencipta. Sehingga, seburuk apapun pelayanan haji seringkali diasumsikan sebagai jalan menuju maqam 'mabrur'.

Pentingnya kesabaran dalam berhaji, yang tak jarang disalahgunakan oleh penyelenggara itu, tentu bukan hanya monopoli pejabat. Jika Anda pernah menghadiri tasyakuran Muslim Indonesia yang akan berangkat ke baitullah, tentu, pesan kesabaran juga disampaikan para penceramah. Me­lepaskan diri dari ikatan masalah non-ibadah diharapkan bis memperlancar mencapai status haji mabrur, yaitu haji yang diterima oleh Allah swt yang tergambar dalam perbaikan perilaku keseharian setelah pulang dari Mekah.

Menunaikan ibadah haji pada hakikatnya adalah penyerahan lahir-batin seseorang yang penuh kekhusyukan dan tawakal dengan niat semata-mata karena Allah yang dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. "Berserulah wahai Nabi Ibrahim kepada umat manusia untuk menunaikan lbadah Haji yang datang dari segala penjuru yang jauh dengan jalan kaki dan sebagian mereka dengan kendaraan unta yang kurus," begitu terjemahan al-Quran Surat al-Hajj ayat 26 menggambarkan tentang 'perjuangan'yang harus dilakukan para jamaah haji.

Haji merupakan ibadah paling puncak dalam Islam. Kalau orang sudah menunaikan ibadah haji dengan cara yang benar, mestinya akan muncul sosok-sosok luar biasa. Kalau proses hajinya bagus, tentu akan muncul sekian sosok manusia luar biasa di negeri ini. Namun, berkaca pada pengalaman sebelumnya, banyak ketidaknyamanan yang dialami para jamaah haji Indonesia. Pelaksanaan pengelolaan pelayanan haji masih jauh dari harapan yang selalu menjadi impian: transparan, akuntabel, terbuka, dan ragam kebaikan lainnya.

Tak heran jika tidak sedikit orang yang menilai kualitas pelayanan yang diberikan dan diterima para jamaah belum sesuai dengan harapan serta setara dengan pengor­banan yang dikeluarkan dalam membayar ongkos yang ditetapkan pemerintah. Seperti pada tahun 2003, tidak kurang 1.700 calon jamaah haji terlantar di beberapa bandara embarkasi akibat masalah buruknya meka­nisme pengangkutan jamaah haji.

Setahun kemudian, ribuan calon jamaah haji juga batal diberangkatkan oleh pemerintah ke Mekah, meski secara administrasi dan persyaratannya sudah dipenuhi. Kejadian itu tak lepas dari kecerobohan pemerintah yang dengan gagah berani menambah kuota jamaah haji, yang ternyata tidak disetujui oleh otoritas pemerintah Arab Saudi. Bahkan pada tahun 2008 masih terjadi ketidak-beresan, kejadian penipuan dan jual beli nomor kursi keberangkatan dan terlan­tarnya ratusan orang jamaah haji di bandara udara Kuala Lumpur Malaysia.

Selain itu, pelayanan transportasi lokal, pemondokan di kota suci, dan akomodasi yang masih jauh dari ben­tuk pelayanan dengan kualitas prima. Anda pun tentu masih ingat bagaimana pemerin­tah ini menzalimi rak­yatnya di Arab Saudi dengan membiarkan kelaparan pada mu­sim haji 2006. Saat menjelang puncak pe­laksanaan ritual haji, wukuf di Arafah hing­ga pelaksanaan lempar jumrah di Mina, jamaah haji harus ke­laparan di tengah suhu dingin iklim gurun.

Jamaah haji se­jak tiba di Arafah tak mendapatkan jatah makanan siang selama lebih dari 30 jam sejak tiba di Arafah. Yang lebih menyedihkan lagi, ketika itu panitia penyelenggara haji tidak bisa memberikan kepastian kapan jamaah akan mendapat­kan makanan. Jamaah tak mendapatkan makanan yang menjadi haknya, bahkan mendapatkan air panas sebagai kebutuhan utama untuk melawan dinginnya udara di gurun pasir juga tidak bisa.

"Perut kami sampai kembung karena terus-menerus minum air dingin," papar seorang jamaah haji 2006 menguraikan pengalamannya kepada MATAN. Ba­nyak anggota jamaah terpaksa minum air leding untuk berwudu. PPIH me­mang telah mencoba mengirimkan mie instan untuk menutup kegagalan pelayanan konsumsi. Namun, pengiriman itu ternyata juga terasa tidak berfungsi karena air matang panas untuk memasak mie juga tidak tersedia di maktab.

Suplai makanan tetap macet, hinggajamaah pun harus merasakan kelaparan selama tiga hari. Banyak anggota ja­maah yang tertolong oleh makanan yang diberikan para dermawan Arab Saudi. Pemandangan jamaah memperebutkan makanan menjadi cerita yang memalukan dan menyedihkan para anggota jamaah haji, yang anehnya seperti tidak dirasakan pemerintah. Kesedihan pun langsung ter­bagi kepada anak negeri ini yang dikabari melalui media massa, short mesage ser­vice (SMS), maupun layanan internet.

Namun, alangkah lucunya jika melihat tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara haji menyelesai­kan masalah tersebut. Melalui Menteri Agama saat itu, M Maftuh Basyuni, pe­merintah ternyata hanya meminta maaf dan janji penggantian biaya konsumsi jamaah haji di Arafah dan Mina sebesar 300 riyal. Bahkan sebelumnya, sempat diputuskan hanya mengganti tujuh kali makan tersebut dengan 105 riyal. Padah­al persoalannya bukan sekadar ganti rugi biaya konsumsi, tetapi kekusyukan jamaah terganggu akibat kegagalan pe­layanan itu tidak bisa digantikan.

Melihat ragam 'kekacauan' haji selama ini, mungkin salah satu faktornya adalah buah dari kesalahan manajemen pemerintah dalam menyelenggarakan ibadah haji. Itu bukan ujian dalam ibadah, tetapi kegagalan pemerintah dalam memberi layanan prima kepada jamaah. Jamaah dan pemerintah terikat dalam perjanjian pelayanan ibadah haji, yang masing-masing pihak merniliki hak dan kewajiban.

"Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jamaah Haji," begitu bunyi pasal 6 Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

"Hasil kajian kami yang paling mendasar membuktikan bahwa terdapat kesalahan sistem dalam penyelenggaraan ibadah haji. Departemen Agama selaku pemegang otontas haji yang penuh, juga menjadi pelaksana. Mereka juga menjadi travel biro," papar Zaim Uchrowi, salah seorang pendiri Forum Maslahat Haji. "Sehingga ada seloroh yang berkembang, bahwa travel biro terbesar sedunia adalah Kementerian Agama Republik Indonesia," tambahnya.

Regulator merupakan pemegang kebijakan sekaligus penanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji yang dibentuk berdasarkan UU. Wewenang utamanya secara ideal adalah mengkordinasi dan menyeleksi operator pelaksanaan. Sementara operator adalah penyelenggara pelaksanaan teknis ibadah haji.

Dalam UU 13/2008, yang sebenamya revisi UU 17/1999, ternyata tidak membawa perubahan pada pembagian ranah profesionalitas tersebut. Sebab, dua peran sebagai pelaksana atau operator dan regu­lator, yang dikeluhkan masyarakat masih dilanggengkan. Hanya masalah pengawasan saja yang dilepas dengan 'setengah' hati, dengan membentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Komisi ini beranggotakan 9 orang: 6 orang diambilkan dari unsur masyarakat dan 3 orang dari pemerintah. "KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap, penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia," bunyi pasal 12 ayat 3 UU 13 Tahun 2008.

Monopoli pemerintah ini merupakan pangkal dari aneka masalah perhajian karena ia membuka peluang bagi kecuran­gan, penyimpangan, dan pelayanan buruk. Artinya, bagaimana mungkin sebuah institusi negara, apalagi sebuah departe­men, mengurus kegiatan yang dananya bersumber dari masyarakat. Biasanya kan sebaliknya: pemerintah yang menyedia­kan dana, masyarakat yang menjalankan. Dalam kasus haji ini yang terjadi justru se­baliknya; masyarakat diminta membayar, kemudian negara yang menguruskan. "Ini tidak akan berjalan maksimal atau baik kalau di lakukan oleh lembaga yang sama, yaitu pemerintah," papar Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo.

Mencermati pemberangkatan haji selama ini, sekitar 95 persen dari 210 ribuan jamaah calon haji, mereka di­tangani sendiri oleh Kemenag. Hanya 5 persen jamaah yang dilemparkan ke biro perjalanan swasta, yang ironisnya angka sekecil ini ternyata diperebutkan oleh sekitar 200-an biro perjalanan haji swasta. Dalam pandangan pengamat perhajian, Bahaudin Thonti, persoalan haji yang menjadi monopoli Kemenag merupakan sumber utama kekisruhan pelayanan haji, karena penyelenggaraannya sulit dikontrol oleh masyarakat. "Selama monopoli ini masih dikuasai Kemenag, pelayanan haji tidak akan beres," ujarnya.

'Ketertutupan' seputar haji juga bisa ditelisik dari perkembangan setoran awal ONH yang kini menjadi Rp 25 juta ke rekening Menteri Agama untuk mendapatkan nomor porsi. Uniknya, seseorang yang menyetor biaya awal ini menandatangani penyataan bahwa uang Rp 25 juta yang disimpan di rekening Menteri Agama itu tidak berbunga. Tapi uniknya, dalam setiap pembahasan penetapan BPIH oleh DPR-Kemenag, ternyata tetap tercantum biaya indirect cost yang berasal dari jasa bunga setoran awal ONH.

Uang setoran yang dimasukkan ke bank, separuhnya disimpan dalam bentuk sukuk. "Bunganya tidak pernah serupiah pun digunakan untuk kementerian, aparat atau penyelenggaran haji," kata Menteri Agama, Suryadharma Ali. Semua keuntungan, digunakan untuk kepentingan jamaah. Contohnya, urai Suryadharma, tiap jamaah Indonesia seharusnya membutuhkan biaya Rp 3­38 juta, tapi biaya haji yang ditetapkan pemerintah kini hanya berkisar Rp 334 juta."Ada selisih, itu yang diambil dari bunga setoran awal." katanya.

Pemerintah menetapkan ada dua kom­ponen biaya: langsung dan tak langsung. Ongkos langsung adalah ongkos yang jadi beban langsung jamaah haji, misalnya transportasi, akomodasi. dan konsumsi. Komponen ini diambilkan dari ongkos naik haji. Sedangkan biaya tak langsung misalnya biaya petugas, operasional embarkasi, yang menjadi tanggungan anggaran negara dan daerah. Biaya lang­sung inilah yang dalam versi pemerintah disebut dengan BPIH yang harus dilunasi jamaah. Sementara bunga uang setoran awal jamaah dianggap sebagai biaya tak langsung, yang sebagian besar digunakan untuk pembiayaan petugas haji.

Belajar dari pengalaman rutinitas penyelenggaran haji, adalah kewajiban pemerintah melayani rakyatnya dengan baik. Pengalaman yang terjadi dari tahun ke tahun harusnya makin mematangkan pelayanan terhadap jamaah haji. Kuncinya adalah memberi apa yang diinginkan para jamaah agar mereka dapat melaksanakan ibadah haj i secara khusyuk tanpa harus ter­ganggu oleh masalah teknis yang remeh. Tapi, mungkinkah?

No comments:

Post a Comment