Friday, February 4, 2011

Dakwah dan Seni

Oleh: Imam Munawwir

Boleh jadi, tanpa rasa seni, penyampaian dak­wah kita nampak kasar buat sang pendengar, meski memiliki dasar. Kurang menarik un­tuk dilirik dan nampak basi, meski padat berisi. Juga lebih pintar ber-nahi munkar ketimbang ber-amar ma'ruf. Akibatnya, kita menjadi terjurus dan terjeru­mus pada sikap pandai mereaksi ketimbang berkreasi karena kurang mampu memberi solusi. Lebih Ahli memberi komentar perbuatan munkar ketimbang memberi jalan keluar menuju perbuatan yang benar.
Lebih banyak menyalahkan ketimbang menyilahkan. Lebih banyak gaya konfrontasi ketimbang informasi, apalagi persuasi.

SENI adalah Sampaikan Ekspresi bernuansa Indah. Apakah itu ucapan atau ungkapan, lukisan atau tulisan, pendek kata dalam segala aspek kehidupan. Dengan ilmu segalanya menjadi mudah, dengan seni segalanya menjadi indah, dengan dak­wah kita mampu menunjukkan arch dan langkah, tabu fungsi dan eksis­tensi manusia sebagai khalifah.

Tampilnya film Sang Pencerah telah menggugah juru dakwah untuk mengambil langkah dalam berkiprah: kiat-kiat, kaifiyat, serta semangatnya dalam melakukan pe­rubahan. Luas pandangan membuat seseorang luwes dalam penyampaian.

Mengandalkan semangat yang tinggi tanpa strate­gi hanyalah memakan energi. Apalagi bila lemah dalam interpretasi, kurang mampu berkomunikasi, maka materi dakwah akan dipandang basi, meski padat berisi. Sebab. tidak sesuai dengan situasi dan kondisi, serta kurang mampu memberi solusi.

Dakwah adalah upaya merubah suatu kondisi ter­tentu menuju kondisi yang lebih balk sesuai dengan ajaran Islam. Substansinya adalah perubahan, bukan sekedar penyampaian. Ia harus mengandung makna dan nilai guna berupa kemajuan (progress). Dakwah haruslah Dengungkan Ajakan Kebaikan Wujudkan Amal dan Hasil. Hanya sekedar menyampaikan adalah nihil dan mustahil untuk berhasil.
Kita tentu akan sangat terkesima ketika me­nyaksikan tayangan film Sang Pencerah, ketika Kyai Ahmad Dahlan ditanya tentang agama. Dia menjawabnya melalui nada dan irama. Gayanya me­mainkan biola membawa suasana mempesona. Dia mengambil lagu Asmaradana, irama Jawa klasik yang menyentuh lubuk hati zaman itu. Biola memang dapat membawa nuansa jadi syandu, hati jadi haru, damai dan menyentuh kalbu, jika dimainkan dengan benar. Sebaliknya, bila cara memainkannya tidak benar, tentu akan menggasak dan merusak telinga sang pendengar, akan menimbulkan kurang simpati, bahkan antipati.

Penyampaian ajaran Islam yang tidak benar, bukan mengangkat derajatnya menjadi tenar, tetapi malah menjuruskannya menjadi onar. lbarat salah da­lam memainkan biola atau gitar, membuat tidak enak untuk didengar. Tak perlu heran bila George Bernard Shaw secara jujur mengatakan bahwa "Daya tarik Islam terletak pada nyanyiannya dan bukan pada penyanyinya, dan daya tarik Kristen terletak pada penyanyinya nya dan bukan pada nyanyiannya." Yang dimaksud nyanyian adalah sumber ajaran, sedangkan penyanyi adalah penyampai ajaran.

Dakwah yang orientatif dan komunikatif tentu tidak sekedar tekstual. Namun kontekstual, se­suai dengan perkembangan akal pikiran mereka ('ala qadri i uquulihim) Bila hanya bermodalkan sikap keka­kuan dan keakuan (gha­laidh al-qalbi), dakwah tidak akan sampai pada tujuan, tak menyentuh lubuk hati berupa jem­batan rasa (mawaddah fi'l qurba).

Al-Qur'an telah mem­beri rasa dan nuansa seni yang paling indah, baik dari segi bahasa, cara mengucapkan atau mengungkapkan. Da-lam menjalani komunikasi, senantiasa padat berisi serta tidak basi bila sang pendakwah mampu menyesuaikan situasi dan penuh kreasi. Sentuhan-sentuhan kata dalam al-Qur'an yang tepat membuat manusia mudah meng­ingat, bersemangat untuk berbuat.
Pada zaman keemasan Islam, seni musik juga sangat mendapat perhatian. Buku karya AI Farabi misalnya, telah dirubah ke dalam bahasa Eropa: Grand Book on Music (Buku Agung Musik), Styles in Music (Gaya Musik), On the Classification of Rhythm (Tingkatan- tingkatan Rhythm), dan banyak lagi yang lain. M. Natsir, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, mantan Perdana Menteri juga Wakil Rabithah Alam Islamy ketika masih muda menggunakan biola sebagai alat dakwah.

Juga AR Baswedan, Ketua DDII Yogya dan mantan Menteri Penerangan, juga penggemar biola. Dia juga membuat naskah drama terkenal berjudul 'Iblis' yang sukses dimainkan di kota-kota benar, termasuk di Hotel Indonesia. Kenapa kita sekarang seperti alergi seni?

No comments:

Post a Comment