Wednesday, March 2, 2011

Lepas Jabatan demi NKRI

Politik Cinta Natsir

Mengundurkan diri dua kali dari jabatan teras pemerintahan tak membuat M. Natsir menyesali diri. la bangga selama menjadi pejabat publik dapat mewariskan nilai-nilai demokrasi dan meritokrasi. Tidak pu­nya kediaman dan kekayaan. Tidak menumpuk materi yang bermuara korupsi dan kolusi. Kehancuran mor­al, hukum, dan etika pemerintahan dewasa ini membuat cerita Natsir seolah bagai mimpi. Masih adakah pejabat publik yang berpikir dan bertindak dengan nurani?

Dalam peringatan ulang tahunnya ke-70 pada 1979 lalu, di depan para tokoh Islam dari berbagai kalangan, M. Natsir membeberkan sisi lain alasan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri pertama sete­lah Indonesia kembali menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dia mengingatkan kembali, waktu itu tahun 1951, pihak oposisi yang mem­boikot sidang parlemen, juga diikuti dengan sikap-sikap politik yang sama sekali tidak etis. Sikap yang digambar­kan Natsir `bagaikan main tenis tanpa net'. Seperti diketahui, Kabinet Natsir tanpa menyertakan wakil PNI dan PKI. Kedua partai ini dengan akal bulusnya berkoalisi dengan Presiden Soekarno merecoki kerja-kerja Kabinet Natsir.

Sebenarnya, lanjut Natsir, dia dan kabinetnya bisa saja meneruskan pe­merintahan karena kenyataannya tidak ada mosi tidak percaya sebagaimana penyebab jatuhnya pemerintahan dalam suatu kabinet parlementer. Namun, Nat-sir bersikap dan berpikir jauh ke depan. "Waktu itu kami bersikap idealistis, dan ingin meletakkan dasar-dasar moral bagi pemerintahan yang demokratis. Untuk itu saya memilih memutuskan lebih baik mengembalikan mandat," jelas Natsir tanpa beban. Natsir menganggap keputu­ san ini sebagai langkah terbaik dan meng­akhiri suhu politik yang memanas.

Demikian antara lain bagaimana Natsir melaksanakan prinsip akunta­bilitas publik ketika memegang amanat rakyat dalam pemerintahan. Natsir me­megang jabatan itu hanya tujuh bulan dengan formasi 18 Menteri dan Wakil Perdana Menteri Sri Sultan Hameng­kubuwono IX. Sebuah pemerintahan yang ramping, efektif, dan efesien. Yang menarik Kabinet Natsir ini dikenal se­bagai zaken kabinet alias kabinet ahli di mana orang-orangnya sangat profesional di bidangnya dan memiliki kompetensi cukup tinggi. Natsir lebih memilih pertimbangan prinsip meritokrasi ketim­bang perwakilan partai-partai.

Natsir juga pernah mengundurkan din sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir. Sikap ini diambil sebagai protes karena kecintaannya kepada tanah Irian Barat. Sekadar pengingat, para tokoh saat itu menyetujui bahwa Belanda harus segera menyerahkan semua kekuasaan­nya kepada pemerintah RI, kecuali Irian Barat - sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, Natsir tidak sejalan. Menurut tokoh sentral Masyumi ini, seharusnya Belanda menyerahkan se­mua daerah kekuasaannya tanpa kecuali. Lagi-lagi di sini tampak betapa lekatnya sikap politik Natsir pada NKRI.

Natsir rupanya menjadi perkecualian dalam adagium kekuasaan, "No one will relinquish his power voluntarily" ( seorang pun yang mau menyerahl kekuasaannnya dengan sukarela). Sikap demikian tidak hanya dilandasi oleh watak demokratis dan problem sovingl yang tinggi sebagaimana yang pernah disebut Indonesianis Herbert Feith, lainkan juga pantulan sikap yang tinggi memaknai sebuah jabatan. Jabatan adalah amanah. Bukan sekedar retorika atau bumbu-bumbu menggamit suara. Tapi, benar-benar realitas politik yang terus berubah penuh dinamika.

Belum cukup di situ. Ketika Na meletakkan jabatan Maret 1951, sekretarisnya Maria Ulfa menyodorl catatan sisa dana taktis yang jum saldonya cukup besar. Menurut Ma sesuai dengan peraturan, sisa dana menjadi hak penuh Perdana Ment Namun, apa yang dikatakan Nai benar-benar mengejutkan Maria. Perdana Menteri menggelengkan ker dan akhirnya menyerahkan dana itu koperasi karyawan. Tak sepeser dana itu diambil pemiliknya. "Le baik dana itu dipakai untuk kesejahtt an semua karyawan dan terus berm faat untuk orang banyak," kata Natsir.

M. Amien Rais, yang menulis Mohammad Natsir, The Second Grand Man, bahkan menyimpan cerita lebih mengharukan sewaktu masih mahasiswa. Khusni Muis, Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan, suatu ketika menghadiri pertemuan nasional Masyumi di Jakarta. Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, Muis kehabisan bekal. Muis pun memberanikan diri silaturahmi sambil meminjam uang kepada Natsir yang juga kawan karibnya. Natsir menjawab kalau dirinya tidak pu­nya uang karena belum gajian.

"Kalau mau pinjam uang pribadi ke­betulan saya tidak punya. Tetapi saudara bisa pinjam uang dari kas majalah Hikmah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan dengan majalah Hikmah," kata Natsir kepada Muis, sebagaimana yang diceritakan ulang kepada Amien Rais. Menurut Amien, mendengar cerita itu ia seolah tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang Perdana Menteri sampai tidak punya uang hanya untuk meminjam­kan kepada sahabat dekatnya. Namun, dilihat dari sikap kejujuran dan kesederha­naan Natsir secara keseluruhan semuanya bisa saja terjadi.

Cerita yang tidak kalah unik juga direkam kuat oleh George McTurnan Kahin. Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa In­donesia pada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan dengan Natsir yang sedang menjabat Menteri Penerangan. Memang banyak hal tentang kondisi Indonesia terbaru yang dipaparkan Natsir, tetapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang Menteri. "Saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta; itulah satu-satunya pakaian yang dimi­likinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerj a di kantornya ber­patungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas. Mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti menteri betulan"' cerita Guru Besar Cornell University tersebut.

Urusan Dinas dan Pribadi
Sebagai pejabat publik Natsir juga dikenal amat konsisten dan persisten (tegas) dalam memisahkan urusan dinas dan keluarga. Natsir yang lahir di Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 itu tidak ingin dana publik yang menjadi sumber pembiayaan urusan-urusan dinasnya ikut terpakai untuk urusan pribadi dan keluarga. Seperti yang pernah dituturkan putri tertuanya Siti Muchlisah, sewaktu ayahnya menjadi Perdana Menteri, ia tetap naik sepeda (onthel) ke sekolah SMP. Sementara adik-adiknya yang lebih kecil antar jemput dengan mobil DeSoto. Mobil pribadi yang dibeli dari saku sendiri.

Tidak jarang Natsir juga kerap memarkir mobil dinasnya di kantor Istana Presiden, sementara pulang ke rumah dibonceng sepeda oleh sopirnya. Ketika Natsir menjadi Menteri Pene­rangan RI awal 1946, ia menumpang di rumah sahabat dekatnya, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pemerintahan pindah ke Yogyakarta, Natsir bersama keluarganya memilih tinggal di paviliun milik Haji Agus Sa­lim, di Jalan Gerej a Theresia — sekarang Jalan Haji Agus Salim.

Urusan tempat tinggal ini memang menyimpan cerita tersendiri bagi keluar­ga benar Natsir. Saat Natsir bebas dari ta­ hanan Orde Lama di Batu (1962-1964), keluarga Natsir kehilangan rumahnya di Jalan Jawa 22 Jakarta Pusat. Bersama mobil pribadinya DeSoto, rumah itu diambil alih oleh kerabat dekat seorang pejabat pemerintah. Kemudian setelah lepas dari Rumah Tahanan Militer Kea­gungan Jakarta pada 1966, ia membeli rumah di Jalan Jawa 46 (sekarang Jalan HOS. Cokroaminoto), dari seorang te­mannya dengan harga pertemanan dan diangsur bertahun-tahun. Kini rumah itu dijual para ahli waris karena talc mampu membayar pajaknya.

Masih tentang mobil dinas, ada cerita unik. Menurut Tamat Anshary, pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur, dia men­dengar cerita, suatu ketika ada Kyai Ja­tim sedang berkunjung ke Jakarta untuk mencari profil pemimpin yang benar. Pertama kali ia datang ke salah satu tokoh nasionalis dan bertanya, "Saya mau jalan-jalan ke Jakarta. Bagaimana pak?". "Ya...gampang, saya siapkan mobil, sopir dan uang makan," jawab tokoh itu. Begitu seterusnya dengan tokoh-tokoh yang lain.

Ketika sampai di rumah Natsir yang waktu itu masih menjadi Perdana Men­teri, Kyai itu mengeluarkan pertanyaan yang sama. Natsir menjawab, "Silakan jalan-jalan, saya panggilkan taksi, dan ini ada sedikit bekal." Lalu, Kyai itu menimpali pertanyaan, bukankah pak Natsir punya mobil? "Tidak punya. Itu mobil dinas dan itu hanya saya pakai dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Tidak lebih." Spontan kyai itu tersenyum dan bilang, inilah pemimpinku. Bagi Tamat, Natsir tetaplah sosok sederhana meski talc lagi di pemerintahan. Setiap ke Jatim tak menginap di hotel dan cukup naik kereta api.

Itulah Natsir. Sosok penuh teladan yang seharusnya membuat para gene­rasi bangsa ini radar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan bersahaja itu bukan mustahil, meskipun penuh tantangan. Apalagi hari-hari belakangan bangsa ini merasa bahwa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh, karena moral dan hukum hanya ditempatkan sebagai sandal jepit yang setiap saat enak diinjak dan dilipat-lipat sesuai selera pemiliknya.

No comments:

Post a Comment