Politik Cinta Natsir
Sabtu malam, rumah sederhana di Jalan Cokroaminoti 46 itu masih dijubeli pengunjung. Sejak diberitakai wafat 12.10 wib di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumi Jakarta, gelombang ta'ziyah dari berbagai daerah tak henti berdatangan. Ketika jenazah itu dishalatkan di Masjid al-Furqan, JI Kramat Raya 45, pada keesokan harinya, tiga babak shalat jenazah digelar. Ribuan penta'ziah pun ikut menghantarkan jenazah sampai pemakamai dengan berbasah kuyup karena hujan lebat. Perlakuan umat tersebut menunjukkan bahwa penghuni makam di blok AA nomor 554, Pemakaman Karet Bivak, Tanah Abang Jakarta Pusat, itu adalah tokoh besar.
Peristiwa duka Indonesia itu terjadi pada Sabtu, 6 Februari 1993 (14 Sya'ban 1413). M. Natsir, arsitek
persatuan Indonesia, yang di kemudian hari diistilahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meninggal dunia dalam usia 85 tahun. Setelah lama berpulang, ada sebuah kerinduan yang mendalam akan hadirnya pemilik nama lengkap Mohammad Natsir Datuk Sinaro Panjang itu. Tentu, kerinduan dan penantian semacam itu sangat beralasan di tengah suasana panggung politik yang sarat dengan pengkhianatan terhadap rakyat.
Lima tahun pertama setelah proklamasi, keberadaan Republik Indonesia hampir saja punah. Tidak hanya gempuran militer yang berhasil diatasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), gempuran diplomasi juga datang bertubi-tubi. Secara kebetulan, sejarah mencatat bahwa penyelamat Republik dari kemusnahan itu adalah tokoh Muslim. Jika PDRI mencatatkan nama Sjafruddin Prawiranegara sebagai tokoh utama, maka M. Natsir juga dicatat sebagai arsitek NKRI.
Pada era 1950-an, M. Natsir memiliki peran yang sangat penting dalam upaya menyelamatkan NKRI. Salah satu rongrongan diplomasi Belanda adalah pembentukan negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg, dengan pemain utama Hubertus Johannes van Mook. Pembentukan Bijeenkomst sebagai buah dan Perjanjian Linggarjati (1946) seharusnya hanya tiga negara: Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, oleh mantan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 'dikembangkan' secara licik menjadi 17 negara bagian.
Sementara Republik Indonesia menjadi negara bagian kecil yang hanya memiliki wilayah seluas Kesultanan Yogyakarta. Van Mook jelas sengaj a melakukan politik devide at impera dengan tujuan yang jelas pula: meniadakan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. "Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pe merintah Hindia Belanda," papar Bapak Diplomat, Mohammad Roem.
Pada 27 Desember 1949, sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), negara yang diakui Belanda adalah keseluruhan negara-negara bagian itu dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) Bukan NKRI sebagaimana yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Meski demikian, siasat Van Mook secara umum terbukti tak berjalan mulus. Berbagai negara bagian mulai bergolak karena kaum Republiken menyampaikan aspirasi kembali ke NKRI. Bahkan, tidak sedikit demonstrasi yang disertai dengan kekacauan sehingga polisi hams bertindak.
Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver untuk menyelamatkan Indonesia. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen RIS, is mengambil inisiatif bertukar pikiran denganpemimpin-pemimpin fraksi lain serta turun langsung ke bawah menyaring aspirasi rakyat. Dari kajiannya, Natsir berkesimpulan bahwa kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan RI yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soal‑ya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar (UUD) RIS.
Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompromistis. Dia menyarankan semua negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer tanpa ada satu negara bagian menelan negara bagian lain. Maka, pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatic terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhirakhir ini," Natsir memungkasi mosinya, yang kemudian dikenal dengan istilah Mosi Integral Natsir.
Isi Mosi Integral Natsir jelas merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak. Pemerintah, diwakili Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan tangan terbuka. "Mosi Integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi," ujarnya.
Hatta kemudian membentuk Panitia Persiapan yang terdiri atas utusan semua negara bagian, hingga semuanya bersepakat membentuk NKRI yang diumumkan oleh Soekamo pada 17 Agustus 1950. Momen bersejarah itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia, dan M. Natsir patut dicatat sebagai sang arsitek utama.
Mosi integrasi yang disampaikan Natsir di depan DPR ketika itu merupakan sebuah cerminan luhur Natsir akan pentingnya persatuan Indonesia dalam bingkai NKRI. Atas gagasan Natsir yang luar biasa ini, tak ayal Soekamo menunjuk Natsir untuk menyusun kabinet dan menjabat sebagai Perdana Menterinya. Ketika Bung Hatta bertanya, siapa yang akan menjadi formatur kabinet, Bung Karno menyatakan, "Siapa lagi kalau bukan Natsir?".
Mendapat kepercayaan dan Soekamo untuk menyusun kabinet pada September 1950, Natsir agak risau. Sebab, Partai Nasional Indonesia (PM) sebagai partai besar tidak bersedia duduk di kabinet, karena PNI menganggap mereka lebih tepat memimpin pemerintahan. Tetapi, Soekamo yang juga pendiri PNI tetap bersikeras meminta Natsir membentuk kabinet. "Tanpa PM?", tanya Natsir. "Ya, tanpa PM," jawab Bung Kamo tegas.
Kabinet yang bertahan selama 8 bulan itu, dicatat sejarah sebagai kabinet zaken (kabinet ahli yang tidak didasarkan atas representasi partai politik) dan menorehkan banyak prestasi. Herbert Faith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia mencatat beberapa kesuksesan Kabinet Natsir yang telah malampaui zamannya. "Natsir membawa negara beberapa langkah ke jalan tertib sipil, melaksanakan administrasi rutin, dan meningkatnya produktivitas nasional serta pertumbuhan ekonomi," papar Indonesianis dan Australia yang menulis studi definitiftentang Indonesia modern pada dekade 1950-an itu.
Prof Ikhlasul Amal pun mencatat bahwa Natsir sukses memikul tugas berat dengan mengembalikan situasi revolusi ke dalam situasi normal dan berhasil meletakkan dasar-dasar politik demokrasi. Dari sini bisa kita lihat bahwa spirit NKRI yang kini banyak digaungkan, memperoleh letaknya dalam catatan politik Indonesia melalui mosi integral yang digagas Natsir pada tahun 1950. "Hal ini pun menjadi sebuah cerminan nyata akan kecintaan Natsir terhadap persatuan Indonesia papar mantan Rektor Universitas Gadja Mada Yogyakarta itu.
Diplomat Kawan Sejawat
Upaya menjaga kesatuan Indonesi tidak hanya ditunjukkan Natsir Mosi Integral. Dialah yang pada tahu 1949 berhasil membujuk pimpina PDRI, Sjafruddin Prawiranegara da Jenderal Sudirman yang tersinggun dengan perundingan Roem-Royei untuk kembali ke Yogyakarta da menyerahkan pemerintahan kepad Sukarno-Hatta. Sekedar mengingatkai ketika para pemimpin Republik ditawa Belanda dalam agresi II, 19 Desembn 1948, kedua tokoh ini adalah pemere utama perlawanan. Berbagai perlawanE militer dan diplomasi PDRI membu Belanda semakin terjepit kedudukai nya dalam pergaulan mondial, dan to mampu berkuasa penuh di Indonesia.
Kondisi ini pulalah yang memak Belanda mau berunding dengan RI dengE memilih utusan Soekamo-Hatta yang ketika itu berstatus tawanan. PerundingE itu menghasilkan Perjanjian Roem-Roye Sudirman misalnya, dia harus meng rimkan radiogram kepada Sjafrudd mempertanyakan kepatutan dan keabsa] an tahanan maju ke meja perundinga Belum lagi perjanjian yang secara kas mata sangat merugikan Indonesia, bahki hingga terbawa ke KMB, yang berul keharusan Republik ini menanggur pembayaran berbagai hutang pemerintHindia Belanda sampai tahun 1949.
Namun, atas nama kesatuan Indonesia, M. Natsir berhasil membujuk Sjafruddin untuk menerima perjanjian Roem-Royen. "Pemerintahan darurat itu berakhir 13 Juli 1949 yang ditandai dengan pengembali an mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Soekarno-Hatta," papar sejarawan Mestika Zed. Natsir pula yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir.
Hubungan baik Soekarno dengan Natsir tidak langgeng. Ketika Soekarno bersekutu dengan PKI, Natsir tanpa ragu melawannya. Spirit ini bisa disimak pada tahun 1958 ketika terjadi beberapa pemberontakan di Indonesia, yang salah satunya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Natsir pun menerjunkan dirinya dalam gerakan yang oleh banyak kalangan dicap sebagai gerakan pemberontakan tersebut. Keterlibatannya ini tentu memunculkan tanda tanya besar bagi banyak pihak, karena dia dikenal sebagai tokoh yang berulangkali menjadi arsitek dalam mempersatukan Indonesia.
Jawaban benderang tentang keterlibatan Natsir dalam PRRI diurai George Mc Tuman Kahin. Selain upaya menghalangi tindakan-tindakan yang tidak demokratik dan inkonstitusional yang dilakukan oleh Soekarno, tindakan itu tidak lain adalah menjaga pergolakan daerah tetap dalam bingkai NKRI. Bukan untuk keluar dari RI, apalagi bersifat separatisme. Dalam konferensi Sungai Dareh, pemimpin-pemimpin senior mulai memperdebatkan pembebasan din dari Indonesia dan membentuk suatu Negara Sumatera tersendiri. "Tetapi ketiga pemimpin sipil ini (M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap, red) telah menentang semua itu dengan keras dan berhasil."
Dalam memblokir gerakan pemisahan din ini, Natsir berhasil menggangu harapan John Foster Dulles dan Allan Dulles (Menteri Luar Negeri AS dan Direktur Central Intellegence Agency/CIA), dan tanpa syak lagi mengurangi kecenderungan kedua orang Amerika ini untuk memberikan sokongan tambahan kepada PRRI. "Sjafruddin dan kedua koleganya yang Masjumi itu memang berhasil dalam mempertahankan/memelihara integritas teritorial dari Indonesia."
"Sebutlah gerakan itu pemberontakan, karena melepaskan diri dari pemerintah, tapi itu bukan untuk kepentingan sendiri. Kami ingin kembali ke UUD. Kita tunduk sama-sama. Apa itu pemberontakan namanya? Syafruddin sendiri sudah mengatakan, kalau pemerintah Jakarta mau kembali ke UUD yang dilanggar itu, kami bersama-sama memerlukan suatu budaya taat kepada UUD. Seokarno telah melanggar, dan komunis malah terus memasukkan paham mereka sehingga memperoleh kekuasaan," papar Natsir suatu saat.
Sekali lagi, dari sini bisa disaksikan betapa besarnya pengorbanan Natsir untuk menjaga keutuhan NKRI. Dia rela dicap sebagai pemberontak atau setidaknya bekas pemberontak, asalkan negara ini tetap utuh tidak terpecah-pecah. Hal ini tentunya tidak pernah akan lahir dari pribadi yang sempit wawasan kebangsaaannya atau tipis rasa cinta tanah airnya. Dan, cerita legendaris itu telah dimainkan Nat-sir, sosok yang 'baru' dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 2008 kemarin.
No comments:
Post a Comment