Wednesday, March 2, 2011

Pendakwah Lintas Zaman

Politik Cinta Natsir

Orang mengenal M. Natsir pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia dan Menteri Penerangan, serta Ketua sebuah partai Islam yang besar di zamannya: Masyumi. Namun, jika dihitung sejak Revolusi 1945 hingga pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1960, keterlibatannya dalam politik hanya 15 tahunan. Sebagian besar perjuangannya justru berada di luar politik kekuasaan, yakni memimpin dan membimbing umat.

Tanggal 27 Februari 1967, di Masjid Al-Munawwarah Tanah Abang, Jakarta, bebe­rapa mantan tokoh Masyumi berkumpul. Masjid berukuran 20 x 15 meter ini menjadi `prasasti' M. Natsir sebagai orang yang benar-benar total menggarap dunia dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Bebarapa tokoh kunci Masyumi tercatat sebagai bagian dari sejarah dakwah itu: mantan Menteri Agama HM. Rasjidi, mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Roem, dan mantan Presiden Sjafruddin Prawirane­gara, mantan Perdana Menteri Burha­nuddin Harahap, mantan Ketua DPR pertama Kasman Singodimedjo, dan juga Osman Raliby, Yunan Nasution, dan Datuk Palimo Kayo.

Pendirian organisasi dakwah itu juga `mengakhiri' peranan politik praktis M. Natsir. Sejarah cemerlang perjalanan politik Natsir mulai menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Sebelumnya, dia berkecimpung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung dengan amanat Wakil Ketua (1929-1932), ketua Partai Islam Indonesia (PII) Bandung, serta anggota Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI).

Dalam pemerintahan, dia menjadi spesialis Menteri Penerangan dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan kabinet Hatta (1948). Ketika negara RIS terbentuk.sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Natsir memelopori kembali negara kesatuan RI dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada 3 April 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri Soekarno, dan pemerintahan ini hanya bertahan selama 8 bulan karena selalu direcoki oleh PKI. Usai menjadi Perdana Menteri, Natsir aktif di Dewan Konstituante hingga akhirnya terlibat dalam pergolakan PRRI.

Keterlibatan Natsir dan kaw kawannya dalam `pergolakan' PRRI benar-benar dijadikan senjata oleh Soekarno untuk memberangus politik. Selain memenjarakan Natsir pada 1962-1966, Soekarno juga sukses memberangus Masyumi pada 1960 dengan memaksa partai ini membubarkan diri. Ketika Orde Lama tumbang, pada Januari 1967, mantan petinggi Masyumi sebenarnya telah meminta Orde Baru merehabilitasi partai berasas Islam Tapi Soeharto menolak.

Jalan solutif pun kembali diaambil, kembali berkiprah di dunia dakwah non-politik melalui ceramah, khutbah di masjid, berkunjung ke luar negeri untuk menghadiri ragam konferensi Islam sebelum terkena cekal, menulis artikel di berbagai media hingga menulis nasehat kepada kawan maupun lawan.

Hampir tiada hari baginya untuk tidak menerima tamu yang mementa nasihat maupun bantuan, sahabat seperjuangan, dan juga koleganya dari negeri. "Dakwah sudah mendarah daging dalam tubuh Natsir," begitu mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999-2004, Prof Amin Rais.

Bagi Natsir, dakwah bukanlah hal yang asing. Sebab, sebelum terjun ke dunia politik, dia telah aktif dalam dunia yang menggeluti permasalahan umat tersebut. Dilahirkan di Alahan Panjang, Solok, pada 17 Juli 1908, Natsir memperoleh pendidikan agama orangtuanya, serta Madrasah Diniyah di Solok. Sementara pendidikan formal ditempuh di SD pemerintah di Maninjau, kemudian HIS pemerintahan di Solok, HIS Adabiyah di Padang, Solok dan kembali HIS pemerintah diPadang. Natsir kemudian meneruskan studinya di Mulo Padang, seterusnya AMSA 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung.

Saat di Bandung inilah, Natsir ber­interaksi dengan para aktivis pergerakan nasional: Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Sutan Syahrir. Tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, pendiri Persatuan Islam (Per­sis). Natsir juga belajar dan tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka pada waktu itu: Agus Salim, SyekhAhmad Soorkati, HOS Cokroaminoto, dan AM. Sangaji. "Pertemuannya dengan Ahmad Hassan membuat cakrawala keagamaannya semakin luas,"

Awalnya dia aktif dalam pendidikan agama di Bandung dengan mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool yang dipimpin­nya 1932-1942. Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat.

Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam. Dengan Soekarno misalnya, Nat-sir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940 tentang bentuk dan dasar negara Indonesia. Natsir menolak ide sekularisasi dan western­isasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler Soekarno ini kemudian dibuku­kan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta.

Tak heran ketika kegiatan poli­tiknya dihambat oleh penguasa, dia berjuang melalui dakwah dengan membentuk DDII. Di lembaga ini, Natsir menjadi tokoh sentral untuk membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil hingga akhir hayatnya. Dia aktif berdakwah bukan saja kepada masyarakat dan para ma­hasiswa di Jakarta dan kota lainnya, tapi juga di daerah terasing, mem­bantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan masjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah.

Dalam kesaksian KH Mu'ammal Hamidy, Natsir pada 1967 mendapat undangan dari Raja Arab Saudi,-Raja Faisal, sekedar `kangen-kangenan'. Setelah bincang-bincang, Raja Faisal menawarinya hadiah uang. Bukannya diterima, justru dia hanya minta hadiah beasiswa untuk para mahasiswa.

"Maka dikirimlah visa kepada beliau untuk delapan mahasiswa, dan saya termasuk salah seorang yang beruntung karena mendapat bagian," papar Wakil Ketua PW Muhammadi­yah Jatim ini.

Kegiatan dakwah Natsir menyebab­kan hubungannya dengan masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus seba­gai pemimpin informal. Melalui DDII, Natsir membuat daftar masalah dakwah Islam, yang salah satunya adalah pent­ingnya membangun sistem, mutu, dan teknik dakwah Islam. DDII membangun strategi dakwah di semua lini, termasuk sekolah, kampus, pesantren, dan daerah terpencil di Indonesia. "Untuk itu, maka dikirimnya beberapa orang petugas da'i ke desa-desa terpencil, baik di Jawa ataupun di luar Jawa," tambah Mu' ammal.

Natsir ingin Dewan Dakwah menggarap lapangan dakwah yang tidak dikerjakan Nandlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam. Maka, dirumuskanlah program kerja pelatihan (calon) mubaligh yang didu­kung oleh riset. Aneka buku, majalah, dan brosur dicetak untuk membekali juru dakwah ilmu keagamaan serta ilmu pengetahuan umum.

"Kami ibarat generator di belakang rumah, tapi cahayanya menerangi se­mua ruang," kata Ketua Umum DDII, Syuhada Bahri. Kegiatan dakwah juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional. Dalam percaturan dunia Islam, khususnya di negara­negara Arab, Natsir sangat dikenal, dihormati dan disegani. Pada 1957 ia pernah memimpin sidang Muktamar Alam Islami atau Kongres Islam Dunia di Damaskus, Suriah. Satu dasawarsa kemudian, dia diamanati sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami), Karachi, Pakistan. Pada tahun 1969, dia juga ditunjuk sebagai anggota World Muslim League, Makkah, Saudi Arabia, serta anggota Majlis Ala al-Alam lil Masajid, Makkah, Arab Saudi pada 1972. Tahun 1980 menerima "Faisal Award" atas pengabdiannya kepada Islam dan Raja Faisal, Arab Saudi.

Kiprah Natsir di dunia internasional semakin moncer ketika namanya ter­catat sebagai anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait (1985), anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris (1986), serta anggota Majelis Umana' Interna­tional Islamic Univesity, Islamabad, Pakistan (1986).

Namun kebebasannya hilang kemba­li karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natsir aktif mengenda­likan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat kegi­atan diskusi, serta terus menerus mene­rima tamu mengenai kegiatan Islam.

Di masa tua, Natsir masih peduli dan disiplin dalam dakwah. Suatu ketika, dia mendengar kabar bahwa di sebuah desa di Jember telah terjadi perubahan Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang Muslim menjadi Kristen. Sesegera mungkin, dia memerintahkan Ketua DDII Jatim, Tamat Anshory Ismail untuk menye­lidikinya. Ketika istrinya meninggal dan akan dikuburkan, Natsir mendengar TamatAnshory datang ke Jakarta. Maka, segeralah Natsir meminta keterangan soal Kristenisasi di Jember itu beserta datanya. sedetail ini masih sempat ditanyakan Natsir di saat beliau hanya bisa berbaring di tempat tidur," cerita Tamat.

Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dan Republik Tu­nisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dan Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dan Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.

No comments:

Post a Comment