Tuesday, February 8, 2011

Mengayak Rezeki dari Cacing Rambut

Berkubang di sungai adalah pekerjaaan keseharian Hafidz. Pria 37 tahun itu memang pekerjaannya mencari cacing rambut atau juga lazim disebut cacing lur. Terik matahari yang menvengat bahkan guyuran hujan kala musim penghujan tiba sudah menjadi `sahabat' Hafidz. Dar] pagi hingga menjelang malam, bapak dua anak asal Jember ini seolah tak pemah lelah mengayak rezeki di alur Sungai Kalimas, Surabaya.

Mencari cacing, tentu tidak semua orang man melakoninya. Cacing, bagi kebanyakan orang memang dianggap sebagai hewan yang menjijikkan. Apal­agi cacing-cacing lur itu dijaring atau dlayak dari clasar sungai yang bercam­pur dengan lumpur yang keruh. Tapi, pekerjaan itu di mata Hafidz mampu mendatangkan cluit yang cukup luma­yan. Hafidz berprinsip bahwa mencari cacing adalah pekerjaan yang halal.

Bermodal peralatan ban mobil seb­agai pelampung sekaligus penampung cacing dan kawat ram avakan, Hafidz mengaku sudah 20 tahun menekuni pe­kerjaan itu. "Saya senang kok mencari cacing seperti ini. Yang penting halal. Daripada bekerja dapat uang banyak, tapi dari hasil menipu orang lain," ucap Hafidz dengan lugasnya.

Hafidz berkubang di sungai memang ticlak sendirian. Keseharian is bersama tujuh temannya yang juga asal Jember mengaduk-acluk clasar Sungai Kalimas un­tuk mengais rezeki. Hermanto, 36 tahun, pencari cacing lur yang lain, misalnya, juga berpenclapat sama dengan Hafidz. "Dulu saya pemah menjadi tukang becak, namun penghasilannya tidak nutut dan saya akhirnya beralih mencari cacing," ujar Hermanto seraya naik ke bantaran sungai, lalu menyeka peluh di wajahnya.

Tentang penghasilan? "Ya, kalau bekerja seharlan penuh, saya bisa menclapatkan 70 sampai 100 kaleng cacing lur," aku Hermanto sambil men­gatakan bahwa satu kaleng cacing lur bisa dijual ke pengepul dengan harga seribu rupiah. Biasanya cacing lur ini untuk makanan ikan hias atau pakan udang.

Keistiqomahan dalam menjalankan pekerjaan mencari cacing lur, juga dialami oleh Fauzi. 46 tahun. Boleh clibilang, Fauzi telah menjadi `sesepuh' bagi para pencari cacing lur di sepanjang alur Sungai Kalimas. Maklum, la oleh teman­temannya dianggap paling lama berprofesi sebagai pencari cacing. "Saya sudah 26 tahun mencari cacing lur di sungai ini. Ya, kalau dihitung lumayan lama," ungkap Fauzi yang berasal dari Bondowoso.

Jika ditanya kenapa senang mencari cacing, jawaban Fauzi tak ubahnya seper­ti apa yang dilontarkan Hafidz maupun Hermanto. Bapak tiga anak ini dengan ekspresi bangga mengatakan, "Saya sudah bosan ikut orang untuk menjadi pegawai. Mendingan mencari rezeki halal di Sungai Kalimas ini clan hasilnya lumayan, bisa menyekolahkan anak-anak saya." Fauzi memang pemah menjadi pegawai di PJKA (kini PT Kereta Api).

Di kampung halamannya di Bondo­woso, Fauzi memang berhasil memblayal pendidikan anak-anaknya untuk bisa sampai mengenyam bangku sekolah tingkat atas. Hal serupa juga dialami Hafidz, Hermanto, dan para pencari ca­cing lur lainnya. Setidaknya dengan bekerja mencari cacing lur, mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup keseharian keluarganya.

Dengan terns berikhtiar clan gIgIh bekerja menghadapi tantangan hidup, para pencari cacing lur itu seolah ticlak pemah mengeluhkan nasibnya. Mereka meyakini bahwa rezeki yang mengatur adalah Allah. Rutinitas kella untuk tents berkubang di cla­lam air yang membuat kulit melegam, bagi mereka juga ticlak pemah dihimukan.

"Maaf, saya harus Shalat Dhuhur dulu dan istirahat sebentar," kata Fauzi sembari membersihkan badannya de­ngan air sungai, kemudian la menuju gubug kecil – tempat tinggal sementara – mereka yang ada di bantaran sungai. Bersamaan dengan itu, azdan pun terdengar sayup-sayup dari pengeras suara sebuah masjId di belahan Jalan Jemursari.

No comments:

Post a Comment