Tuesday, March 22, 2011

Perpecahan Mengancam Sudan

Rakyat Sudan Selatan sudah memberikan suaranya ke kotak­kotak suara dalam referendum
sejak 9 Januari 2011. Dari dua pilihan: bergabung dengan Utara atau memisah­kan diri, wilayah yang mayoritas penga­nut animisme itu memilih memisahkan diri. Dipastikan, tahun 2011 ini akan terbentuk negara baru seiring dengan pengumuman hasil referendum pada pertengahan Februari ini.

Konflik di Sudan Selatan tak dapat dipisahkan dari campur tangan asing, yang menyuplai para pemberontak di Selatan. Yang paling kentara adalah membuat milisi dan menjadi kekuatan militer, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA/The Sudan People's Liberation Army), yang dipimpin oleh John Garang. Konflik yang panjang inilah yang menyebabkan campur tangan Amerika Serikat, tokoh-tokoh internasional, Uni Afrika, PBB, dan Liga Arab.

Sebelumnya, Senator John Carry, ketua komite luar negeri Senat AS telah berkunjung ke Juba (salah satu kota di Sudan), dan sekarang lebih 100 orang tim pemantau dari AS dan berbagai negara Eropa untuk memasti­kan referendum berjalan, dan rakyat di Selatan memisahkan din dengan Utara. Mantan Presiden AS, Jimmy Carter, yang memimpin The Carter Center telah berada di Juba, menyaksikan para pemilih yang menuju ke kotak-kotak suara.

Sebelumnya, ada kekhawatiran yang luas tentang potensi konflik kekerasan dan penolakan dari pemerintah Sudan di Khartoum. Namun, atmosfer meningkat secara dramatis dalam beberapa pekan. Para pemimpin di Utara dan Selatan telah mengambil langkah positif, ter­masuk pidato di Juba oleh Presiden Omar al-Bashir di mana is mengatakan bahwa pemerintah Sudan akan mene­rima hasilnya, dan akan merayakan hasil bersama dengan orang-orang Sudan Selatan.

Referendum tentang penentuan nasib sendiri adalah salah satu langkah kunci dalam Perjanjian Perdamaian Komprehensif 2005, yang mengakhiri perang sipil, yang berlangsung selama 22 tahun yang menyebabkan lebih dari 2 juta orang mati dan 4 juta pengungsi.

Proyek memisahkan antara Sudan Utara dengan Selatan, diawali ketika Sudan dipimpin Jendral Ja'far Numaeri, yang mendeklarasikan syariah Islam berlaku di seluruh Sudan. Wilayah Selatan yang sebenarnya berpenduduk Kristen hanya 4 persen, dan mayoritas penganut animisme, oleh Barat dicang­kokkan dengan para pemimpin Kristen seperti John Garang. Dengan bantuan senjata, Garang melakukan pemberon­takan melawan Utara yang Islam.

Duta besar Sudan untuk Iran, Sulei­man Abdel Towab mengatakan, AS dan Israel memainkan peran kunci dalam menumbuhkan benih perpecahan dan mengobarkan perang sipil dan gejolak di wilayah selatan. "Agen intelijen Is­rael, Mossad, kemungkinan besar akan meningkatkan konflik," ujarnya. Dia juga mengatakan bahwa seorang pejabat senior Mossad telah menyebutkan tujuh negara sebagai 'ancaman nyata' bagi Israel, diantaranya Iran dan Sudan.

Towab menambahkan bahwa Israel melihat negaranya sebagai ancaman kar­ena Sudan adalah negara Islam dan sangat populer di Afrika. "Sudan adalah seperti jembatan antara orang Afrika, Arab, dan Muslim. Jadi Israel dan AS berusaha untuk mengontrol pemerintah Sudan dan memberlakukan sanksi terhadapnya. Su­dan adalah negara terbesar kedua setelah China dalam hal pertumbuhan ekonomi," ujar duta besar Sudan itu.

Sebuah laporan oleh Frontier Eco­nomics mengkalkulasi bahwa Sudan akan menderita kerugian sebesar 50 mi­lyar dolar dalam produk domestik bruto dan membebankan 25 milyar dolar pada beberapa negara tetangganya. Laporan ini muncul di tengah ketegangan seputar area perbatasan menjelang referendum tanggal 9 Januari lalu itu. Nah, sampai di sini belum sadarkah umat Islam akan kejahatan AS dan Israel yang tetap menghegemoni negara-negara Islam?

No comments:

Post a Comment