Tuesday, March 8, 2011

Mengandalkan Hidup dari Ban Bekas

Ban mobil bekas di mata Muamar, 43 tahun, adalah penghasi­lan alias bisa dijadikan uang. Memang mengubah barang bekas men­jadi barang yang mempunyai nilai jual bukan perkara yang mudah. Diperlukan keahlian khusus dan kreativitas tinggi untuk melakukannya. Bagi Muamar, ban-ban mobil bekas bisa disulap men­jadi barang-barang bernilai ekonomis, seperti dijadikan pot bunga, tempat sampah, timba, dan sebagainya.

Muamar, seharian selalu dibantu istrinya, Khoiriyah, 41 tahun untuk membuat ban-ban mobil bekas itu menjadi lumbung rezekinya. Di tangan pasangan suami istri yang membuka usahanya di Jalan Karet Surabaya ini, barang yang semula dianggap sampah diubah menjadi barang berguna yang menghasilkan uang. Meski terlihat se­pele, namun pekerjaan ini terbukti dapat dijadikan sandaran hidup. Betapa tidak, basil karya yang mereka buat ternyata diminati oleh masyarakat.

Bukan hanya pasar Surabaya saja yang mereka bidik. Hasil produksi mereka juga merambah kota lain seperti Lamongan, Gresik, Jember dan daerah­ daerah lain di Jawa Timur. Ban bekas yang mereka dapatkan, diubah menjadi barang-barang yang menarik, semisal tempat sampah, pot bunga, hingga timba. Harga yang ditawarkan bergan­tung jenis barang dan ukurannya. Untuk tempat sampah misalnya, dijual seharga Rp 25 ribu, sedangkan untuk pot bunga dijual seharga Rp 10 Ribu.

Bisnis yang mereka tekuni saat ini adalah usaha warisan dari orang tua Muamar. Sejak ayah Muamar mening­gal, bisnis mengubah ban bekas ini diteruskan oleh Muamar dan dibantu istrinya. "Meskipun bisnis ini warisan dari orangtua, saya tidak hanya diam dan memetik buahnya saja. Saya bisa sukses seperti ini butuh perjuangan panjang," kata Muamar.

Jika pasangan Muammar dan Khoir­iyah memilih usaha menyulap ban be­kas menjadi beraneka macam barang, berbeda dengan yang dilakukan oleh M Dasuki, 79 tahun. Meski sama-sama menggantungkan hidup dari usaha yang berhubungan dengan karet, kakek ini mempunyai cara yang berbeda dalam mengolah ban bekas.

Di tangannya yang sudah keriput, ia sulap ban-ban yang sebetulnya su­dah mulai aus itu menjadi 'ban baru.' Dengan bekal silet yang dilekatkan pada sebatang besi yang telah dimodifikasi, ia perdalam lagi alur ban sehingga tampak seperti barn. Sejak menekuni pekerjaan ini 10 tahun silam, warga Kampung Pogot ini mengaku tidak pernah sepi or­der. Sebagian besar pelanggannya meru­pakan pedagang-pedagang ban bekas yang banyak tersebar di penjuru kota. Mulai dari pedagang ban di wilayah Gunungsari, hingga pedagang di sekitar Jalan Bratang. Dengan sepeda tuanya, ia datangi langganan-langganannya itu.

"Biasanya saya gilir. Jika pekerjaan di Gunungsari selesai, saya pindah ke langganan lain. Saya lebih suka datang ke toko-toko karena saya nggak punya tempat kosong di rumah," uj arnya. Setiap harinya, ia mampu mengerjakan sekitar 5 hingga 7 ban. Untuk setiap ban yang ia kerjakan, ia menerima upah antara Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu. Besarnya upah yang ia dapat bergantung dengan jenis dan ukuran ban yang ia kerjakan. "Kalau ukurannya besar dan alurnya banyak, tentu saja harganya lebih mahal," papar Dasuki.

Bagi Dasuki, di usianya yang senja itu, ia sangat senang bekerja tanpa minta bantuan orang lain. "Yang penting bagi saya kerja ini halal," aku Dasuki sambil pamit untuk melaksanakan Shalat Ashar di sebuah Mushala.

2 comments: