Wednesday, February 2, 2011

Pusat Dakwah Tanpa Dai

Menggusur Basis Muslim Kota

Benih api pembaruan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari wilayah perkotaan sebagai awal penyemaian gagasan dan aktivitas. Ibarat lampu pijar, dari perkotaan inilah api pencerahan merambah ke luar daerah hingga pedesaan. Kini, ketika pedesaan sudah tersentuh pembaruan, aura kota yang awalnya jadi pusat peradaban secara berangsur menyusut. Seiring dengan perkembangan kota, peradaban nan agung itu terasa hanya menjadi kisah dan cerita yang tak berbekas.

Sebagai pengenal identitas, masjid itu dinamai 'Da'wah'. Berdiri tahun 1965, dan diresmikan oleh Muhammadiyah pada 1980. Seperti namanya yang berarti seruan, masjid penuh ukiran sejarah kejayaan Islam di tengah kota Surabaya ini benar-benar menjadi pusat seruan dalam beramar ma'ruf nahi munkar: mengaji al-Qur'an, belajar ilmu hadits, tafsir, hingga diskusi khasanah keilmuan Islam lainnya. Bahkan, pendidikan formal untuk perguruan tinggi pun pernah bersemayam di sana.

Perkuliahan Fakultas Agama Jurusan Dakwah (FIAD) sebagai salah satu cikal awal universitas Muhammadiyah SUrabaya, berjalan baik di tempat ini, hingga kemudian dipindah ke kawasan Kapasan untuk pengembangan.

Setiap hari para jama'ah gegap gempita mengisi kegiatankeislaman di masjid itu. Banyak tokoh Muhammadiyah yang selalu dinanti-nanti para jama'ah untuk berceramah: KH. Anwar Zein (alm), KH. Abdurrahim Noer (alm), KH. Hamidiy, dan banyak lagi. "Setiap bulan puasa, jama'ah tarawih membludak, sampai harus menyediakan tenda-tenda," cerita Nur Haidah SOmad, salah satu saksi sejarah yang pernah tinggal selama lima tahun di sekitar masjid itu.

Kini, pusat Muhammadiyah itu seakan hanya tinggal nama, akibat tergerus gemerlap pembangunan kota yang pesat. Di tengah keangkuhan kota, masjid itu seperti mati suri. Mulai tahun 1998, seiring uforia reformasi, detak jantung Islam itu tersendat. Penggusuran atas nama pembangunan mengoyak masjid, sekaligus 'mengusir' tempat tinggal para jamah yang berada di sekitar masjid.

"Masjidnya ada, tapi jama'ahnya buyar dan terserak, " ungkap Ketua PW Aisyiyah Jatim 2010-2015, Nur Haidah. DI sekitar masjid itu kini telah tumbuh gedung-gedung megah, diantaranya Empire Palace.

Kondisi senada terjadi juga dalam perjalanan dakwah Muhammadiyah kota Malang. Memang bukan masjid yang menjadi prasasti kegemilangan gerakan Muhammadiyah, tetapi sebuah musholla kecil bernama ar-Rahmat. Mushola di kampung Kidul Pasar ini adalah salah satu pijar pembaruan di Malang. "Tempat ini dulu menjadi persinggahan Pak AR. Fachruddin, Pak Anwar Zein, Pak Djindar Tamimi, dan lainnya, saat berkunjung ke Malang, " begitu cerita Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Malang 1995-2000, Yasin Suhaimi.

Tak hanya itu, 'adat istiadat' aktivis Muhamamdiyah di musholla itu juga menjadi percontohan bagi ranting-ranting yang baru berdiri. Kala itu, jika dalam sebuah ranting telah berdiri Musholla milik Muhammadiyah, maka dapat dipastikan kegiatan dakwah Muhammadiyah akan berjalan. Musholla yang didirikan akan menjadi pusat kegiatan dan pusat informasiwarga Muhammadiyah. "Musholla yang dijadikan basis kegiatan dakwah layaknya telah menjadi pusat peradaban Muhammadiyah di tingkat ranting," papar Yasin.

Dalam jejak sejarah Muhammadiyah Malang, Mushalla ini menjadi tempat pengkaderan. Dibina langsung oleh Ketua PDM saat itu, KH Bejo Darmo­leksono. Perkaderan dilakukan dengan mengajak para kader keliling ke berb­agai wilayah untuk mengisi pengajian. "Kalau sekarang, kaderisasi dilakukan di hotel-hotel atau gedung mewah lain selama dua atau tiga hari. lalu langsung ditetapkan sebagai kader,'' kritik Yasin Suhaimi terhadap proses perkaderan Persyarikatan yang dinilainya instan.

Namun, sejak awal 1990-an, pan­caran dakwah dari Mushalla ini mulai pudar. Cenita tentang kepahlawanannya dalam mengembangkan Muhamma­diyah di seantero Malang hampir sudah tidak terlacak. Lagi-lagi akibat pem­bangunan kota yang menggusur tempat pemukiman para aktivis Masjid dan Mushalla. "Kegiatannya sepi karena yang tua sudah meninggal atau pindah," terang Yasin, salah sate aktivis dakwah yang 'terusir'oleh pembangunan kota.

Ada juga AUM yang berdiri tegak dengan aktifitas padat. Tapi, jamaah se­bagai ujung dakwahnya hampir tidak ditemukan. AUM itu tak lebih semacam perkantoran, yang karyawannya datang pada pagi hari dan pulang di waktu petang. Tentu, berbagai kegiatan dakwah berupa pengajian yang biasanya diselenggarakan pada malam hari, sepi pengunjung.

Dalam catatan mantan anggota Pim­pinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, dr Mutadi, kondisi ini setidaknya bisa dilihat dari kompleks perguruan Muhammadiyah Gadung, Surabaya. Komplek yang pada tahun 60-an barn bisa mendirikan sebuah TKAisyiyah itu kini telah menjelma menjadi komplek pendidikan formal tingkat SD, SMP, clan SMA dengan ribuan murid. "Se­cara fisik memang berdiri gagah, tetapi belum cukup dikatakan sebagai capaian besar dalam konteks dakwah dan syVar Muhammadiyah," papar mantan Ketua PCM Wonokromo 1975 itu.

Menurut Mutadi, ketidaksesuaian capaian fisik AUM dengan syiarnya itu dikarenakan ketiaclaan jaminan bahwa orang-orang yang bergabung dalam AUM adalah kader Muhammadiyah. Sampai sekarang tidak ditemui adanya persyaratan yang ketat bagi para pekerjadi AUM. "Kita belum punya semacam kurikulum atau standart minimal penge­tahuan agama clan ke-Muhammadiyah­an yang dijaclikan ukuran dalam pere­krutan pegawai," ungkapnya.

Selain persyaratan, penyebab kedua adalah kurangnya pembinaan keaga­maan dan kemuhammadiyah di AUM atau di Muhammadiyah ranting, yang seharusnya dilakukan oleh kepemimpin­an setingkat di atasnya. Akibatnya, komunikasi antara pimpinan dengan umat di bawahnya tidak berjalan baik. Sehingga tidak jarang, berbagai konflik yang terjadi merupakan akumulasi dari kurangnya komunikasi dan pembi­naan.

Dra Hj Rr Sri Yukti Ismawanti ber­pendapat, kunci keberhasilan dakwah Muhammadiyah adalah kemasan dan bahasanya yang lunak. Seperti yang di­lakukan oleh Muhammadiyah Cabang Wonokromo, Surabaya, pada era tahun 60-an. Kegiatan Muhammadiyah di sang mampu menarik simpati warga setempat yang mayontas `abangan'. Menurut istri Drs HRM Soegeng Siswo Soemarto, Se­kretaris PCM Wonokromo itu, banyak orang yang memang tidak mau mengisi ketika disoclorl formulir keanggotaan Muhammadiyah. Namun mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan Muhammadiyah. "Mari melangkah, lipat bendera, jangan memaksa orang menjadi anggota Muhammadiyah," kenang ibu yang biasa dipanggil Bu Soegeng ini ten-tang rahasia dakwah suaminya.

Sebenarnya, gaga 'merangkul' inilah yang merupakan pola dakwah Muhammadiyah untuk meluruskan aqldah masyarakat. Dalam peringatan 1 Muharram misalnya, kapasitas Soegeng sebagai sekretaris PCM Wonokromo, pernah memimpin tradisi bari'an, se­buah tradisi warga yang membawa berbagai jajanan untuk sesajen di perempatan jalan. Alih-alih memimpin doa persembahan, pak Soegeng justru mengganti segala acara persembahan itu dengan memberi pengertian untuk meng-Esa-kan Allah swt, serta menga­jak berdoa kepada-Nya.

Sikap yang bersahaja tanpa membe­dakan kelompok inilah yang mampu mendorong keaktifan warga untuk ikut dalam pembangunan Perguruan Mu­hammadiyah Gadung, Wonokromo. Tidak hanya bank yang memberi ke­percayaan, tetapi juga tidak sedikit peclagang papar Wonokromo yang memberikan bantuannya kepada Mu­hammadiyah. Sayangnya, kata Bu Soegeng, orang Muhammadiyah sekarang sering menampakkan wajah yang sinis ketika ada orang yang tidak 'sefaham', sehingga terkesan memisahkan diri dari masyarakat.

Sementara mereka yang berkecim­pung dalam AUM, ternyata juga belum sepenuhnya ikut berkiprah dalam berba­gai kegiatan Muhammadiyah. Ibu yang sampai berumur 66 tahun masih menjadi aktifis Aisyiyah ini menyontohkan ten-tang besamya ketidakhadiran karyawan AUM dalam berbagai pengajian yang diadakan Aisyiyah dengan berbagai alasan. "Padahal mereka itu adalah orang-orang Muhammadiyah yang juga bekerja di AUM," paparnya.

Banyak AUM yang karyawannya `berseragam' Muhammadiyah hanya saat bekerja. Namun mereka tidak mengikuti kegiatan-kegiatan costal Muhammadiyah. Selama ini memang sudah ada upaya dari pimpinan AUM melakukan pembinaan keislaman dan kemuhammadiyahan, tapi intensi­tasnya masih sangat sedikit. Apalagi jika pimpinan AUM-nya hanya 'ber­baju'Muharnmadivah, maka peran aktif pimpinan Muhammadiyah setempat sangat diperlukan.

Naifnya, bila pimpinan Muham­madiyah tidak berdomisili di wilayah setempat. Demikian juga dengan domisili para karyawan AUM, sehingga membuat mereka tidak bisa berpartisipasi aktif dalam Pimpinan Muhammadiyah/Aisyi­yah setempat. Padahal Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah pasal 13 (3) dan 14 (3) mengatakan, "Anggota Pimpinan Cabang/Ranting harus ber­domisili di Cabang/Rantingnya".

Kondisi dilematis ini tentu mem­butuhkan penyikapan yang arif, sambil terns mementingkan pembinaan anggota Muhammadiyah maupun karyawan AUM. Di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) misainva, disikapi dengan pembentukan PC Aisyiyah Khusus. Dilihat dari namanya yang menggunakan kata 'Khusus , memang keberadaannya secara administratif ber­beda dengan PC Aisyiyah konvensional. Sebab, konvensional mengandalkan domisili 'fisik', sementara yang 'khusus' lebih terasa memaknai domisili sebagai sektor. "Pendiriannya memang berdasar­kan pada Surat Keputusan (SK) Rektor UMM, termasuk jajaran kepemimpinan­nya," papar Wakil Ketua PCK Aisyiyah UMM, Dra Hj Romlah MAg.

Berdiri pada tahun 2005, keberadaan PCK Aisyiyah ini memang menjadi terobosan yang lumayan unik. Dalam analisa Romlah, setidaknya ada dua alasan strategic kenapa PCK harus didirikan di 'Kampus Putih' tersebut. Pertama, dosen dan karyawan UMM bekerja non-stop yang rasanya tidak memungkinkan mereka aktif secara penuh di ranting Aisyiyah tempat tinggal mereka. "Selain itu, di UMM tidak ada Dharma Wanita, sehingga pembentukan PCK Aisyiyah memang cukup pas," pa-par Pembantu Dekan I Fakultas Agama Islam UMM itu.

Lazimnya organisasi otonom Mu­hammadiyah, PCK Aisyiyah juga me­lakukan pembinaan terhadap seluruh anggotanya: dosen perempuan dan karyawati UMM. Pembinaan keislaman dan kemuhammadiyahan misalnya, tidak hanya diselenggaran satu kali dalam sebulan, tetapi rutin dilakukan setiap pekan. Dikomandam oleh Majelis Tabligh dengan materi yang terjadwal. "Namun, aktivitas PCK Aisyiyah me­ngikuti kalender perkuliahan UMM. Jika UMM libur, maka kegiatan PCK juga libur," tambah Romlah.

Lokasi UMM yang terletak di dua daerah: Kota dan Kabupaten Malang, membuat PCK Aisyiyah berpartisipasi dalam dua wilayah PD Aisyiyah. Dalam beberapa kegiatan, PCK memang selalu menggandeng berbagai PC Aisyiyah yang tersebar di dua pemerintahan daerah tersebut. "Jika dapat dana block grant, bisa dicantolkan ke PC Aisy­iyah," terang Romlah. Meski demikian, Romlah mengakui jika kegiatan PCK lebih banyak dilakukan di teritorial Kota Malang. "PCK Aisyiyah UMM selalu melakukan asistensi beberapa Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang yang ter­kait dengan masalah keperempuanan dan anak-anak," pungkas Romlah.

Apakah model PCK Aisyiyah di UMM ini bisa dikembangkan di sektor dan wilayah lain? Tentu tidak serta­merta bisa dijawab dengan 'ya atau tidak'. "Tergantung pada kasus dan sumberdayanya," papar Wakil Ketua PWM yang juga Rektor UMM, DR Muhadjir Effendy MAP. Menurutnya, secara kebetulan SDM UMM memang sudah siap untuk mengemban amanah jika PCK dibentuk. Satu catatan lagi, meski mereka aktif di PCK, mereka tetap harus terikat dengan PC atau PRt Aisyiyah dimana mereka bertempat tinggal.

1 comment:

  1. Dakwah Islam paham Muhammadiyah memang harus banyak terobosan dan strategi. Sampai sekarang relevan dg adanya PCMK, PCAK, walaupun di AUM standar yang belum mapan. Ini juga supaya mejaga ruh/ ideologi Muhammadiyah bagi Karyawan Muhammadiyah. Diluar negeri juga dapat saja PCIMK tentunya sdh ada AUMnya dan tempat kerja yg non Muhammadiyah. Dan Dakwah dpt bersinergi antara PCM, PCA dan PCMK, PCAK. Bukankah lebih banyak PCM dakwah kita akan lebih baik ?
    SElamat membentuk PCMK, PCAK. Apalagi PP MUH ikut mensuport hal ini. Semoga.

    ReplyDelete